DOKTRIN ALLAH PADA ERA POSTMODERN: SUATU TINJAUAN TEOLOGIS



DOKTRIN ALLAH PADA ERA POSTMODERN:
SUATU TINJAUAN TEOLOGIS
(Sumber: Jurnal Voice of The Covenant Vol.1 No.1 2017)
Dr. Junior Natan Silalahi


ABSTRAK

Artikel ini ingin mengkaji doktrin Allah pada era Postmodern. Ciri khas teologi pada era postmodern adalah Tuhan tidak dimengerti sebagai sesuatu yang mengarah pada satu pribadi di luar dunia yang memberi pengaruh pada dunia. Postmodernisme mempercayai bahwa adanya Tuhan menjadi penghambat kebebasan manusia secara menyeluruh. Dan Gereja adalah alat pengekang kebebasan tersebut. Metode penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif. Kajian yang dilakukan bersifat teologis melalui studi pustaka. Temuan dalam penelitian ini adalah konsep Allah dalam postmodernisme bertentangan dengan doktrin Allah dalam Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang Transenden sekaligus Imanen. Allah yang tak terbatas, masuk dalam konteks kefanaan dunia menjadi manusia. Doktrin Allah dalam Alkitab bersifat absolut dan final. Sedangkan postmodernisme mengajarkan bahwa manusia tidak membutuhkan Tuhan. Manusia menjadi penentu segalanya.


Kata-kata Kunci: Doktrin Allah, Era Postmodern, Postmodernisme, Tinjauan Teologis.







PENDAHULUAN

Dalam sejarah kehidupan manusia dikenal tiga era atau zaman yang memiliki ciri khasnya masing-masing, yaitu: pramodern, modern dan postmodern.[1] Pemikiran masa pramodern selalu menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran, kebudayaan dan masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia adalah persoalan dengan Allah. Pada masa pramodern, teologi dijadikan sebagai ‘ratu ilmu pengetahuan’. Segala sesuatu diukur dan harus diuji berdasarkan Alkitab. Sedangkan zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Melalui pernyataan tersebut, manusia dibimbing oleh rasionya sebagai subjek yang berorientasi pada dirinya sendiri sehingga rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali manusia terutama tingkah lakunya. Kemampuan rasio menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio.
Modernisme sesungguhnya sudah mendapat serangan dan kritik sejak Friederich Nietzsche (1844-1900), namun serangan tersebut belum benar-benar diperhatikan sebelum tahun 1970-an. Gerakan untuk menyingkirkan modernisme secara langsung datang melalui kehadiran dekonstruksi sebagai sebuah teori sastra yang mempengaruhi aliran baru dalam filsafat.[2]
Postmodernisme sebagai filsafat  pelopori oleh Friedrich Nietzsche, dengan  mengeluarkan kalimat yang sangat berpengaruh yaitu: “Tuhan sudah mati”. "Tuhan sudah mati" (bahasa Jerman: "Gott ist tot") adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam memopulerkan ungkapan ini.[3] Inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya.
 Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri, kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau kecemasan mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri, apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir."
Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia.
Menurut Griffin dalam bukunya Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern, hal tersebut menawarkan apa itu yang disebut dengan Teologi Postmodern.
Ada beberapa ciri khas teologi postmodern. Pertama ; Tuhan dalam postmodern tidak dimengerti sebagai sesuatu yang mengarah pada satu pribadi di luar dunia yang memberi pengaruh pada dunia. Kedua: secara epistemologis teologi postmodern berdasarkan pada pengakuan akan adanya persepsi non indarawi. Ketiga : dalam memandang alam, postmodern berdasar pada alternatif lain yaitu pandangan yang menyatakan bahwa perasaan dan nilai intrinsik merupakan ciri khas yang ada pada semua individu yang membentuk alam.[4]

Griffin juga membicarakan Tuhan dalam postmodern. Griffin memberikan satu dasar atau latar belakang bagaimana Tuhan dihayati dalam dunia modern sampai postmodern. Dalam dunia modern Tuhan tidak lagi dihayati sebagai satu sumber keselamatan atau sumber iman, melainkan Tuhan hanya dihayati sebagai satu pribadi yang ada. Semuanya hanya berhenti pada paradigma yang semacam ini. Secara tidak langsung Tuhan memang tidak ditolak secara radikal, tetapi pada abad ini Tuhan hanya dianggap sebagai sesuatu yang ada yang tidak memberi pengaruh apa-apa. Karena pada masa itu modernitas melahirkan apa yang disebut dengan komitmen formal. Saat itu jaman pencerahan bangkit dan memandang bahwa komitmen formal ini pada akhirnya melahirkan satu kebebasan. Komitmen ini lahir karena setiap keyakinan yang pada waktu itu dihayati, termasuk juga Tuhan yang sunguh-sungguh membatasi kebebasan manusia. Selain karena paham yang membatasi kebebasan ada juga pemikiran baru bahwa pengertian dan pengalaman akan Tuhan itu dibatasi oleh persepsi indrawi.
Selain itu ada juga alasan yang saling berkaitan yang mendorong semakin menurunya kepercayaan akan Tuhan. Alasan yang paling kuat untuk menolak Tuhan  adalah masalah kejahatan. Masalah ini jelas sekali dalam pertentangannya antara kebaikan dan kekuasaan Tuhan yang diyakini ada pada Tuhan, juga pengalaman adanya kejahatan.  Dengan kata lain kejahatan menjadi gambaran yang amat jelas bahwa Tuhan yang Mahabaik dan Mahakuasa itu tidak ada. Gagasan ini melahirkan satu pemikiran bahwa pada dasarnya pandangan dunia modern mendefinisikan Tuhan yang memiliki kekuasaan tertinggi yang ilahi sebagai sumber kemahakuasaan. Seperti yang sudah tertulis di atas pada alasan kedua dalam pandangan Teologi Postmodernisme, Griffin mengatakan bahwa alasan untuk menolak eksistensi Tuhan  adalah angapan bahwa percaya pada Tuhan menghambat  dorongan untuk mendapatkan kebebasan manusia dari segala penindasan yang menyeluruh. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah gereja menjadi otoritas utama dalam mendakwa dan menentukan kebebasan umat manusia. peristiwa Galileo menjadi satu polemik besar bahwa Tuhan (Gereja) mengekang kebebasan manusiawi setiap manusia.[5]
Joas Adiprasetya dengan mengutip David Tracy, menyimpulkan teologi postmodern demikian,
“Wajah sesungguhnya dari postmodernitas, sebagaimana dilihat oleh Emmanuel Levinas dengan kejernihan yang sedemikian rupa, adalah wajah dari yang lain, wajah yang berseru, “Jangan membunuhku,“ wajah yang memaksa, melampaui Levinas, jangan menjerumuskan aku atau siapapun juga ke dalam kisah Agungmu.”[6]

Jadi, konsep Allah pada era Postmodern mempercayai bahwa adanya Tuhan menjadi penghambat kebebasan manusia secara menyeluruh. Dan Gereja adalah alat pengekang kebebasan tersebut. Postmodernisme sangat cepat mempengaruhi hampir semua bidang keilmuan dan kehidupan masyarakat, termasuk juga teologi. Postmodernisme mempengaruhi beberapa teolog sehingga muncullah istilah teologi era postmodern.[7]




BAHASAN

Kajian Teori
Menurut H.W.B. Sumakul, awalan “post” dalam postmodernitas mempunyai dua arti -  pertama, “putus hubungan dari” modernitas. Kedua, “sesudah” atau “kelanjutan dari” modernitas. Arti pertama postmodernitas adalah suatu dikontinuitas dari yang modern, sedangkan arti kedua adalah kontinuitas dari yang modern.[8] Apabila postmodernitas adalah diskontinuitas dari yang modern, ini berarti antara era modern dan era postmodern putus hubungan sama sekali. Era postmodern memisahkan diri dari era modern secara mutlak dan radikal. Dan arti yang kedua, apabila postmodernitas merupakan kontinuitas era modern maka era postmodernitas tidak bisa dipisahkan dari era tersebut.
Bambang Sugiharto menguraikan istilah postmodernisme secra terminologinya. Berdasarkan asau usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Pada awalnya istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari moderninsme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. Setelah itu berkembang dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.[9]
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisispiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalismestrukturalisme dan sekularisme. Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.[10]
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi DerridaFoucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.[11]
Joas Adiprasetya juga memberikan pendapatnya tentang istilah postmodernisme, secara etimologis, istilah modern berasal dari kata Latin modus (cara). Oleh sebab itu, awalan post- dalam postmodernisme seharusnya dipahami sebagai kritik atas modus atau cara yang dipakai sejak Masa Pencerahan untuk merancang peradaban manusia yang ada.[12]
Sesungguhnya setiap era yang ada dalam setiap kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, hal ini dikarenakan dalam sejarah kehidupan manusia setiap era tersebut merupakan turut andil dan peran manusia di dalamnya. Baik dari segi kebudayaan, intelektual, sosial, etika, moral dan bahkan kepercayaan. Jadi, apabila disebut postmodernitas sebagai ‘putus hubungan’ dengan era modern maka hal ini tidaklah mungkin dan merupakan hal yang mustahil. Postmodernitas lebih dekat kepada defenisi bahwa era ini merupakan kelanjutan dari era sebelumnya, yaitu era modern. Postmodernitas tidak bermaksud menolak dan menyangkali akan hasil-hasil dari modernitas, melainkan lebih kepada mengkritik akan pemahaman yang ada dibalik modernitas itu sendiri.
Sedangkan menurut para tokoh Postmodernisme sendiri, seperti Jean Francois Lyotard  mendefinisikan postmodern sebagai ketidakpercayaan pada narasi besar modernisme. Lyotard menganggap postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern.[13]
Menurut Antoni Giddens. Postmodernisme adalah sebuah estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang merupakan dasar dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi, atau suatu keadaan, atau sesuatu yang berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi sebagai postmodernitas. Postmodernisme adalah "fenomena budaya dan intelektual".[14]
Josh McDowell & Bob Hostetler menawarkan definisi berikut mengenai postmodernisme: "Postmodernisme adalah suatu pandangan dunia yang ditandai dengan keyakinan bahwa tidak ada kebenaran dalam pengertian objektif. Tetapi Postmodernisme diciptakan, bukan ditemukan. Kebenaran adalah yang diciptakan oleh budaya spesifik dan hanya ada di budaya.”[15]
Menurut Tony Cliff, Postmodernisme adalah Postmodernisme is the theory of rejecting theories atau teori yang menolak/membantah teori lain.[16] Menurut Al Gore, It's the combination of narcissism and nihilism that really defines postmodernism," (Kombinasi dari narsisme[17] dan nihilismelah[18] yang memberikan arti pada postmodernisme). Menurut Marvin Harris, postmodernisme merupakan gerakan intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradig­ma penelitian yang lebih istimewa.[19]
Menurut Michael Foucault, postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan postmodernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran lebih mengandalkan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.[20] Menurut James Habermas, postmodernisme itu sebagai langkah “counter culture, artinya kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan.[21] Menurut Pauline Rosenau, mendefinisikan Postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya dalam memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.[22] Menurut Terry Eagleton, bahwa postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde,[23] dan kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari modernisme, postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan dari avant-garde, postmodernisme ingin mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi “high” culture.[24]
Lain halnya dengan ahli postmodernisme lainnya, Fredrick Jameson, yang mendalilkan bahwa Postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas. Dengan alasan, tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernisme.[25] Bagi Eddy P. Peter, Postmodernisme merupakan suatu pemberontakan pada janji modernisme yang menjanjikan keadilan dan kemakmuran manusia yang dinilai gagal memenuhi janjinya.[26]
Postmodernisme adalah sebuah aliran pemikiran dan menjadi semacam paradigma baru, yang merupakan antitesis dari modernisme, yang dinilai telah gagal dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Modernisme yang ditandai oleh kepercayaan penuh pada keunggulan sains, teknologi, dan pola hidup sekuler, ternyata tidak cukup kokoh untuk menopang era industrialisasi yang dikampanyekan sehingga dapat membawa kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat. Postmodernisme adalah sebuah teori yang lahir akibat dari tidak terpenuhinya janji teori Modernisasi akan terciptanya kehidupan yang lebih baik bagi para penganut teori Modernisasi.
Dari terminologi dan pendapat para tokohnya sendiri, maka postmodernisme sesungguhnya adalah suatu paham yang berkembang karena menganggap bahwa era modern tidak dapat atau gagal dalam memenuhi tuntutan hidup manusia. Dalam hal ini, postmodernisme tidak menolak bahwa modernime telah menghasilkan begitu temuan-temuan terutama dalam hal teknologi, melainkan lebih tertuju pada pembongkaran cara pandang atau asumsi-asumsi dasar di balik segala cita-cita modern, yang dilihatnya sebagai akar permasalahan timbulnya berbagai bencana seperti dikemukakan di atas (imperialisme, kolonialisme, tribalisme). Sebagai contoh, karena para modernis percaya hanya ada satu kebenaran mutlak yang obyektif dan rasional, maka hal ini mendorong mereka untuk menolak, sekaligus "menyingkirkan," cara-cara pandang lain tentang kebenaran yang tidak obyektif dan tidak rasional. Dengan kata lain, para modernis (secara tidak langsung, maupun langsung) telah berusaha mengontrol dan mengatur dunia berdasarkan rasio, yang pada akhirnya asumsi mereka tersebut telah memberikan semacam rangsangan bagi timbulnya imperialisme dan kolonialisme ditambah dengan adanya kemajuan teknologi yang membuat peluang tersebut semakin terbuka lebar.


Doktrin Allah pada Era Postmodern
Doktrin Allah dalam Teologi Postmodern adalah “Tuhan sudah mati”. Istilah “Tuhan sudah mati" adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche.[27] Namun, istilah "Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi secara harafiah, seperti dalam "Tuhan kini secara fisik sudah mati"; sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena "Ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah kakinya.[28]
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri, kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' (subterranean man) yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir."
Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang Übermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua nilai'.
Ketika menemukan dalam sebuah nyanyian gereja karya Martin Luther apa yang digambarkan oleh Hegel sebagai kata-kata yang kejam, ungkapan yang keji, yakni, Tuhan sudah mati, Hegel barangkali adalah filsuf besar pertama yang mengembangkan tema tentang kematian Tuhan. Menurut Hegel,[29] bagi suatu bentuk pengalaman, Tuhan sudah mati. Sambil mengomentari Critique pertama Kant, Heinrich Heine berbicara tentang Tuhan yang sedang sekarat. Heine memengaruhi Nietzsche. Sejak Heine dan Nietzsche, ungkapan Kematian Tuhan menjadi populer.[30]
Baik Van Buren maupun Hamilton sama-sama sepakat bahwa konsep transendensi telah kehilangan tempatnya yang bermakna dalam pikiran moden. Menurut norma-norma pemikiran modern kontemporer, Tuhan sudah mati. Dalam menanggapi keruntuhan transendensi ini, Van Buren dan Hamilton menawarkan masyarakat sekular pilihan tentang Yesus sebagai manusia teladan yang bertindak di dalam cinta kasih. Perjumpaan dengan Kristus dari iman akan terbuka dalam sebuah komunitas gereja.[31]
Altizer menawarkan sebuah teologi radikal tentang kematian Tuhan yang meminjam dari gagasan-gagasan William Blake, pemikiran Hegelian dan gagasan Nietzschean. Ia mengkonsepsikan teologi sebagai suatu bentuk puisi di mana imanensi (kehadiran) Tuhan dapat dijumpai dalam komunitas-komunitas iman. Namun demikian, ia tidak lagi menerima kemungkinan untuk mengukuhkan keyakinan terhadap Tuhan yang transenden. Bagi Altizer, Tuhan telah menjelma di dalam Kristus dan telah memancarkan rohnya yang imanen yan tetap ada di dunia meskipun Yesus mati.[32]
Rubenstein mewakili sisi radikal dari pemikiran Yahudi yang bergumul melalui dampak Holocaust. Dalam pengertian teknis ia mengatakan, berdasarkan Kabbalah, bahwa Tuhan telah "mati" dalam menciptakan dunia. Namun demikian, bagi budaya Yahudi modern, ia berpendapat bahwa kematian Tuhan terjadi di Auschwitz. Dalma karya Rubenstein, kita tidak mungkin lagi percaya kepada Allah dari perjanjian Abrahamik. Ia merasa bahwa satu-satunya kemungkinan yang tersisa bagi orang Yahudi adalah menjadi orang kafir, atau menciptakan makna mereka sendiri.[33]


Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif. Metode penelitian Kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Menurut Pranoto, penelitian Kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu “teori”.[34]
            Menurut Moleong, pengertian penelitian kualitatif adalah membuat deskripsi objektif tentang fenomena terbatas dan menentukan apakah fenomena dapat dikontrol melalui beberapa intervensi. Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamatinya.[35] Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Penulis juga melakukan penelitian pustaka untuk memperoleh sumber teori yang relevan dengan pokok permasalahan yang penulis teliti. Penulis melakukan penelitian pustaka untuk memperoleh kajian teori yang relevan dengan permasalahan yang penulis teliti. Dalam melakukan penelitian pustaka penulis mencari buku-buku dan membacanya serta mempelajari bahan literatur yang berhubungan dengan judul artikel ini.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya), perbuatan meninjau,[36] sedangkan teologis adalah berhubungan dengan teologi; berdasar pada teologi.[37] Tinjauan teologis adalah hasil dari suatu penyelidikan yang berhubungan dengan teologi atau berdasarkan pada teologi. Dalam konteks artikel ini, maka teologi yang dimaksud adalah teologi Kristen, jadi penyelidikan tersebut berdasarkan pada teologi Kristen yang bersumber pada Alkitab. Oleh sebab itu, metode penelitian artikel ini adalah melakukan penyelidikan berdasarkan Alkitab, di mana doktrin Allah pada era postmodern sebagai obyek kajian penelitian. Penulis meninjau pandangan tersebut apakah sesuai dengan Alkitab atau justru menyimpang, kemudian memberikan pandangan teologis yang alkitabiah.


Hasil Penelitian
            Doktrin Allah Era Postmodern sangat erat kaitannya dengan pandangan Nietzsche yang mengeluarkan pendapatnya bahwa Tuhan sudah mati. Ia mengemukakan bahwa ada kemungkinan-kemungkinan positif apabila manusia melepaskan diri dari Tuhan. Dan menyebut teorinya dengan istilah nihilisme. Dengan demikian manusia akan lebih kreatif. Menurut penulis teori ini sangat keliru, karena sesungguhnya Nietzsche baru hanya mencoba untuk mengingkari keberadaan Tuhan yang ada dan aktif itu.
Pendapat Nietzsche tersebut memiliki dasar yang sama dengan konsep Deisme. Deisme adalah kepercayaan bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran, seseorang bisa menentukan bahwa Tuhan adalah nyata. Beberapa deist menanggap bahwa Tuhan tidak mencampuri urusan manusia dan mengubah hukum-hukum alam semesta. Dengan demikian, deisme menolak kepercayaan terhadap mukjizat atau segala bentuk kegaiban lainnya. Penganut deisme percaya atas keberadaan Tuhan, bukan berdasarkan Agama, Otoritas Religius, atau Kitab Suci. Deist biasanya menolak kejadian gaib (kenabian, mukjizat) dan cenderung menegaskan bahwa Tuhan tidak mencampuri urusan alam semesta, dengan demikian urusan manusia dan hukum alam dari semesta berjalan dengan sendirinya. Deists melihat setiap kejadian sebagai interpretasi yang dibuat oleh manusia, bukan berasal dari Tuhan.
Ajaran ini menghasilkan sikap toleransi sesuai eksistensi manusia sosial dan rasional.[38] Ajaran pencerahan yang mengungkapkan manusia tidak perlu tunduk kepada segala hal yang ada di luar dirinya sendiri. Deisme adalah suatu ajaran atau paham rasional yang percaya bahwa Allah ada dan dapat dilihat melalui kerumitan dan hukum-hukum alam. Akan tetapi, Allah tidak turut serta dalam perkembangan alam dan kehidupan manusia yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip alam yang dibuatnya. Secara sederhana, Allah adalah pencipta alam pada taraf tingkat kerumitannya, tetapi Allah hanya menanamkan prinsip-prinsip kerja dalam alam. Kemudian sang adikodrati melepaskan alam dan manusia untuk bekerja dengan sendirinya. Th van den End menganalogikan, seperti arloji yang berjalan secara otomatis.[39]
Deisme memiliki beberapa ajaran yang penting yaitu percaya pada Allah sebagai penyebab awal dari segala sesuatu dalam dunia yang kemudian meninggalkannya bekerja dalam hukum alam; tidak ada tempat bagi mukjizat dan Alkitab sebagai penyataan dari Allah; Yesus hanya dianggap sebagai guru moral, manusia hanya menyembah pada Allah saja; dan Alkitab hanya buku pedoman moral, karena bagi manusia secara alamiah sumber moral ada pada pikirannya sendiri.[40]
                        Benni E. Matindas dalam bukunya berpendapat bahwa ajaran Nietzsche diambil dari ajaran kosmologi kuno yang banyak dianut agama Monisme Timur, yaitu ajaran tentang berulang kembalinya segala peristiwa terus menerus secara abadi (Eternal reccurence atau eternal return). Dalam semesta yang berupa siklus tanpa awal dan akhir, dianggap tidak ada pencipta atau Tuhan. Teori kosmologi kuno tersebut sangat keliru! Teori fisika, dalam hal ini yakni Prinsip Entropi yang dikembangkan oleh sederet fifikawan besar seperti Hermann Ludwig Ferdinand von Helmholtz, Rudolf Julius Emanuel Clausius dan Ludwig Boltzmann membuktikan bahwa setiap materi mengalami pertambahan aliran panas secara abadi.[41] Hukum Termodinamika II mengatakan bahwa Nilai entropi sistem tertutup (alam semesta) akan selalu bertambah atau tetap. Berhubung alam semesta tidk berada dalam equilibrium maka yang ada akan selau bertambah terus. Entropi, kuantitas yang berhubungan dengan aliran panas. Hukum ini menjelaskan tentang proses yang secara pasti tidak bisa dibalik (irreversible process); dan sekaligus menjelaskan mengapa tidak bisa balik (selalu hanya mengarah ke depan dan tanpa melingkar). Karena entropi: selalu bertambah, dan tidak berkurang, sehingga tidak adanya pengulangan. Dengan demikian teori Nietzsche eternal return itu salah dan tidak memiliki dasar objektif.[42]

Tinjauan Teologis
                        Berikut penulis memaparkan bukti-bukti dalam Alkitab tentang penolakan doktrin Allah yang diajarkan pada Era Postmodern.

Allah memelihara Ciptaan
Alkitab mengajarkan tentang cara Allah berhubungan dengan makhluk ciptaanNya, dimana Allah bertahta, berkuasa atas segala ciptaan-Nya yang ada di bumi. Maka semua ciptaan melihat atas kedaulatan Allah, dilain sisi banyak juga yang masih kurang mempercayai atas kedaulatan Allah yang sesungguhnya dan masih mengandalkan kekuatannya sendiri.
Ajaran tentang pemeliharaan Allah dikenal sebagai doktrin Providensia. Istilah ini berasal dari kata Latin Providentia, yang setara dengan kata bahasa Yunani pronoia. Kata-kata ini pada dasarnya berarti pengetahuan atau penglihatan awal, tetapi perlahan-lahan kemudian memperoleh arti yang lain. Makna penglihatan awal disatu pihak masih terkait dengan rencana masa datang, dan dipihak lain dengan pelaksanaan rencana ini. Jadi providensia adalah  yang dilakukan Allah dalam pemerintah-Nya, dan juga dalam menunjang dan memerintah kehidupan makhluk-Nya.[43]
Setidaknya dalam Alkitab doktrin Pemeliharaan Allah dapat digolongkan dalam dua bentuk yaitu: pertama, pelestarian Allah adalah Allah terus menerus memelihara dan menopang keberadaan dan kelanjutan semua sifat-sifat yang dimiliki ciptaan-Nya sebagaimana mereka diciptakan (Ibr 1:3; Kol 1:17; Kis 17:28; Neh 9:6; Maz 104:29).[44] Kedua, kebersamaan Allah. Allah bekerjasama dengan semua ciptaanNya dalam setiap tindakkannya dan mengarahkan semua sifat-sifat yang dimiliki mereka sehingga mereka bertindak sebagaimana seharusnya sebagai causa secunda (kekuatan alam dan kebebasan manusia). Sebagai causa prima Allah sebagai penyebab segala sesuatu untuk hidup, bergerak dan memiliki hakekat Kedua kausa ini tidak setara, tapi bekerja bersama-sama. Pemerintahan Allah memerintah atas segala sesuatu yang terjadi di dunia supaya segala sesuatu yang terjadi itu sesuai dengan maksud dan tujuan kehendak Allah. (Maz 103:19; Dan 4:34, 35; Ams 16:33).[45]
Allah memelihara segala sesuatu oleh kehendak Allah yang berdaulat, bijaksana, dan bermasuk baik.  Tindakan Allah yang terus menerus berlangsung dari kekuatan ilahi di mana sang pencipta melindungi semua makhlukNya, yang bertindak dalam segala yang terjadi di dalam dunia, dan mengarahkan segala sesuatu pada tujuan akhir yang telah ditunjuk. Definisi ini memberikan petunjuk akan adanya tiga elemen dalam providensi, yaitu perlindungan, ada bersama-sama, bekerja bersama, dan pemerintah.

Objek dari Pemeliharaan Allah
Alkitab mengajarkan bahwa pengaturan pemeliharaan Allah bersifat menyeluruh atas alam semesta. Ia berdaulat mutlak atas ciptaan-Nya tanpa ada yang dapat mengganggu gugat. Namun, Allah bukanlah bersifat otoriter, semena-mena atas alam semesta, melainkan mengaturnya dengan penuh kasih dan keajaiban. Tentang hal ini Louis Berkhof berpendapat,
Ia memelihara atas seluruh alam semesta secara luas (Maz 103:19; Dan 5:35; Ef 1:11), atas dunia  fisik (Ayb 37:5, 10; Maz 104:14; 135:6; Mat 5:45, atas penciptaan binatang (Maz 104:21, 28; Mat 6:26, 10:29, atas semua kegiatan bangsa-bangsa (Ayb 12:23; Maz 22:28; 66:7; Kis 17:26, atas kelahiran dan hidup manusia (1 Sam 16:1; Maz 139:16; Yes 45:5; Gal 1:15, 16, atas hal-hal yang tampaknya ketidaksengajaan atau tidak penting (Ams 16:33; Mat 10:30), dalam perlindungan atas orang benar (Maz 4:8, 5:12; 63:8; 121:3; Rom 8:28, dalam memenuhi kebutuhan umatNya (Kej 1:30,31; 22:8, dalam memberikan jawaban atas doa (1 Sam 1:19; Yes 20:5,6; 2 Taw 33:13; Maz 65:2; Mat 7:7; Luk 18:7, 8, dan dalam menghukum kejahatan (Maz 7:12, 13; 11:6).[46]

Deisme berpikir bahwa alam semesta berjalan dengan proses alamiah tanpa memerlukan kuasa Allah di dalamnya. Alam memiliki potensi untuk berubah dan berkembang, bertambah banyak tanpa diperlukan adanya unsur dari luar dirinya. Deisme menonjolkan sisi kemandirian dari ciptaan tanpa kontrol dari luar. Manusia bekerja, berkarya, bertambah banyak, lahir, mati karena proses yang ada dalam dirinya sendiri karena memang ia memiliki potensi dari dalam dirinya untuk melakukan siklus demikian.

Perlindungan Allah
Dasar bagi Doktrin perlindungan adalah langsung dan mencangkup keseluruhan. Bukti lansung perlindungan ilahi atas segala sesuatu secara jelas dan eksplisit diajarkan dalam Alkitab (Ul 33:12, 25-28; 1 Sam 2:9; Neh 9:6; Maz 107:9; 127:1; 145:14, 15; Mat 10:29; Kis 17:28; Kol 1:17; Ibr 1:3. Bukti inferensial pengertian tentang perlindunga ilahi dapat dimengerti setelah orang memahami doktrin kedaulatan Allah. Hal ini hanya dapat dipahami sebagai sesuatu yang mutlak, tetapi esuatu tidak akan dapat menjadi mutlak jika sesuatu itu ada atau terjadi lepas dari kehendakNya. Pemahaman tentang perlindungan ilahi ini juga dapat dimengerti dari segi sifat keterikatan dari makhluk ciptaan.[47]
Doktrin tentang perlindungan Allah ini berasal dari asumsi bahwa semua substansi yang diciptakan, baik itu spiritual maupun material memiliki ekstensi yang nyata dan permanen, yang berbeda dengan ekstensi Allah, dan hanya memiliki sifat-sifat aktif maupun pasif yang berasal dari Allah; dan bahwa kekuatan aktif mereka  memiliki efisiensi yang nyata sebagai kuasa kedua, dan bukan sekedar efesiensi yang seolah-olah saja, sehingga makhluk ciptaan ini dapat menghasilkan efek-efek yang benar sesuai dengan diri mereka.
          Pandangan tentang Allah yang bersama-sama dengan makhlukNya. Bahwa kekuatan alam tidaklah bekerja sendiri, dari kekuatan yang ada pada mereka sendiri, tetapi Allah secara langsung bertindak dalam setiap tindakan dari makhluk itu. Bahwa kuasa kedua adalah nyata, dan tidak boleh dianggap semata-mata sebagai kekuatan operatif Allah. Alkitab jelas mengajarkan bahwa providensi Allah tidak hanya berkaitan dengan keberadaan, tetapi juga dengan tindakan dari setiap makhluk. Kebenaran umum bahwa manusia tidaklah bekerja dengan tidak terikat tetapi diatur oleh kehendak Allah.
Pemeliharaan lewat Mujizat
Suatu perbedaan sering dibuat anatara providensi ordinaria dan providensi extraordinaria. Dalam providensi ordinaria Allah bekerja melalui kausa dalam kesesuaian yang ketat dengan hukum-hukum alam, walaupun bisa saja Ia menjadikan hasilnya berbeda-beda melalui kombinasi yang berbeda. McPherson berkata: “ sebuah mujijat adalah suatu yang dilakukan tanpa adanya bantuan dari cara yang biasa, paling tidak dari cara yang umum, oleh kuasa yang kedua.[48]
Allah dalam melaksanakan mujizat kadang-kadang memakai kekuatan yang ada di alam. Ia memakainya dengan cara di luar apa yang terjadi secara umum, dan inilah yang dinamakan mujizat. Mujizat sering tidak diterima berdasarkan kenyataan bahwa mujizat itu melawan hukum alam. Sebagian berusaha mencari jalan keluar dengan cara mengasumsikan bahwa mujizat itu hanyalah perkecualian dari alam yang kita ketahui, dan berarti bahwa jika kita memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang alam, mungkin kita dapat mengetahui dan menjelaskan mujizat itu dengan cara yang alamiah.
Ketika Allah mengerjakan mujizat, Ia menghasilkan akibat yang luar biasa dalam cara supranatural. Hal ini berarti bahwa mujizat adalah di atas alam. Ketika mujizat terjadi sesungguhnya hukum alam tidaklah dirombak, tetapi disisihkan pada suatu kehendak tertentu oleh manisfestasi yang lebih tinggi dari pada kehendak Allah. Kekuatan alam tidaklah dihancurkan atau dibuang, tetapi hanya ditinggalkan di titik tertentu oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan alam.
Mujizat dalam Alkitab tidaklah dilakukan dengan sembarangan, tetapi dengan tujuan tertentu. Mujizat bukan sekedar suatu yang menakjubkan saja, suatu pameran kekuatan untuk menarik perhatian dan kekaguman, tetapi sesungguhnya mempunyai kepentingan berkenaan dengan wahyu. Mujizat bukanlah bermaksudkan menghancurkan karya kreatif Allah, tetapi untuk menunjukkan bahwa Allah berdaulat atas ciptaan sekaligus memeliharanya.

Kesimpulan
Doktrin Allah yang berkembang pada era postmodern sejatinya bertentangan dengan doktrin Allah yang diajarkan dalam Alkitab. Allah dalam konsep postmodern hanyalah allah yang dibangun oleh manusia. Manusia ingin menyinggkirkan karya Allah dalam alam semesta, termasuk dalam kehidupan manusia. Upaya menyingkirkan Allah ini merupakan rekayasa dari pikiran yang ingin bebas atas segala aturan kosmik yang telah ada. Postmodernisme ingin bebas dari segala aturan, ikatan, hukum dan norma-norma yang sudah ada. Mereka tak ubahnya seperti orang yang ingin menjadi tuan atas dirinya sendiri, tuan atas hidupnya sendiri, tanpa ada yang berkuasa atas hidupnya. Postmodernisme menjadikan dirinya sebagai “tuhan” atas hidupnya.
Doktrin Allah dalam postmodernisme ini bertentangan dengan doktrin Allah yang diajarkan dalam Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa Allah senantiasa bekerja dan berkarya, tidak pasif/tidak melakukan apa-apa setelah Ia menyelesaikan karya Penciptaan. Dalam Injil Yohanes  5:17 Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga." Allah bekerja sampai saat ini, bahkan sampai selama-lamanya. Allah berkarya dari kekal sampai kekal. Manusia yang menganggap bahwa tanpa Tuhan maka manusia menjadi lebih kreatif merupakan pandangan yang keliru. Karena tanpa karya Allah, maka semua yang dilakukan manusia tidak dapat terjadi. Oleh kedaulatan Allah maka semua peristiwa di muka bumi ini boleh terjadi. Oleh sebab itu, dengan meniadakan Allah (allah mati), maka manusia juga pasti “mati”.

Saran
Postmodernisme telah menghasilkan konsep Allah yang keliru, oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban orang Kristen untuk memberikan argumentasi atau sanggahan secara teologis terhadap ajaran palsu tersebut. Setiap orang Kristen harus mampu memberi penjelasan yang kuat mengenai kepercayaan mereka. Memang tidak setiap orang Kristen harus menjadi ahli, namun setiap orang Kristen perlu mengerti apa yang mereka percaya, mengapa mereka percaya, bagaimana membagikannya dengan orang lain, dan bagaimana mempertahankannya dari kebohongan dan serangan. Tugas orang Kristen adalah berusaha untuk memberikan  pertanggungan jawab pada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab tentang kepercayaannya. Sebagaimana yang ditulis dalam 1 Petrus 3:15 “Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat”.






DAFTAR PUSTAKA

Adiprasetya, Joas. Mencari Dasar Bersama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Berkhof, Louis. Dontrin Allah. Surabaya: Momentum, 2013.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Bertens,  K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Daniel Lie, Hali. Abad Pertengahan, Modernisme dan Posmodernisme. Bandung: Jurnal Teologi Stulos 5, 2009.
End, Th Van den. Harta dalam Bejana, Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Gellner, Ernest. Menolak Posmodernisme: Antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius. Jakarta: Mizan, 1994.
Grenz, Stanley. A Primer on Postmodernism. Yogyakarta: Andi, 2001.
Groothuis, Douglas R. Membuka Topeng Gerakan Zaman Baru. Surabaya: Momentum, 2010.
Groothuis, Douglas. Pudarnya Kebenaran. Surabaya: Momentum, 2003.
Hidayat,  Paul. Zaman Postmodernisme. Makalah dalam Seminar Guru High Impact, Sekhinah Vilage Depok, 23-25 September, 2006.
Hidayat, Paul. Hidup Dalam Ritme Allah, Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2005.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Lumintang, Stevri I. Theologia Abu-Abu-Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas, 2004.
Lumintang, Ramli B. Bahaya Postmodernisme dan Peranan Kredo Reformed. Batu Malang: YPII, 2010.
Mangunhardjana, A. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Magnis-Suseno, Franz. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Matindas, Benni E. Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern. Yogyakarta: Andi, 2010.
Osborne, Richard. Filsafat Untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Schumann, Olaf H. Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.   
Sugiharto, Bambang. Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Sumakul, H.W.B. Posmodernitas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Thiessen, Henry C. Teologi Sistematika. Malang: Gandum Mas, 2015.



KONTRIBUTOR JURNAL
VOICE OF THE COVENANT
Vol. 1. No. 1, Oktober 2017

Dr. Junior Natan Silalahi, adalah Ketua STT Covenant Indonesia dan dosen di beberapa STT di Jakarta. Memperoleh gelar Sarjana Teologi dari STT Doulos, Jakarta pada tahun 2006. Gelar M. Th diperoleh dari STT Apollos, Jakarta pada tahun 2010. Adapun gelar D. Th dari STT Rahmat Emmanuel (REM), Jakarta dalam bidang Teologi Sistematika pada tahun 2014. Suami dari Jessica Laura Sidabutar, M.Pd, dan ayah dari Nathania Laura E. Silalahi. Saat ini berdomisili di Cengkareng, Jakarta Barat bersama keluarga.          








[1] Hali Daniel Lie, Abad Pertengahan, Modernisme dan Posmodernisme. (Jurnal Teologi Stulos 5, 2009), hal. 19.
[2] Stanley J. Grenz. A Primer on Postmodernism (Yogyakarta: Andi, 2001), 14.
[3] John Letche. 50 Filsuf Kontempore. (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 75.
[4] Davin Ray Graffin. Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern (Yogyakarta: Kanisius), 35.
[5] Davin Ray Graffin. Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern, hlm. 42.
[6] Davin Ray Graffin, ibid, hlm. 28.                                                                                        
[7] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 27.
[8] H.W.B. Sumakul. Posmodernitas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 7.
[9]Bambang Sugiharto. Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 24.
[10] Bambang Sugiharto, Ibid, hlm. 25.
[11] Ibid, hlm. 26.
[12] Joas Adiprasetya, opcit, hlm. 7.            
[13] Bambang Sugiharto, opcit, hlm. 26.
[14] Ibid, hlm. 27.
[15] Bambang Sugiharto, opcit, hlm. 27.
[16]Ibid, hlm. 27.
[17] Suatu hal/keadaan yang mencintai diri sendiri secara berlebihan. Dapat juga disejajarkan dengan suatu keadaan yang mempunyai kecenderungan/keinginan seksual dengan diri sendiri.
[18] Sebuah paham/aliran filsafat sosial yang tidak mengakui nilai-nilai kesusilaan, kemanusiaan, keindahan, dsb, juga segala bentuk kekuasaan pemerintahan, semua orang berhak mengikuti kemauannya sendiri.
[19] Bambang Sugiharto, hlm. 27.
[20] Ibid, hlm. 27.
[21]Ibid, hlm. 28.
[22]Ibid, hlm. 29.
[23]Avant-garde (pengucapan bahasa Perancis: [avɑ̃ɡaʁd]) berarti "advance guard" atau "vanguard".  Bentuk kata sifat digunakan dalam bahasa Inggris untuk merujuk kepada orang atau karya yang eksperimental atau inovatif, terutama penghormatan kepada seni, kultur, dan politik. Avant-garde menunjukkan perlawanan terhadap batas - batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu kebudayaan.
[24]Bambang Sugiharto. Opcit, hlm. 30.
[25]Ibid.
[26]Eddy Peter. Postmodernisme, (Filadelfia: Tangerang, 2000), 35.
[27]Listiono Santoso, opcit, hal. 60.
[28] Ibid, hal. 61.
[29] Richard Osborne. Filsafat Untuk Pemula (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h.68.
[30] John Letche. 50 Filsuf Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h.69.
[31] Richard Osborne. Opcit, h. 70.
[32] John Letche. opcit, h. 78.
[33] Ibid, h. 80.
[34] Pranoto. Panduan Singkat Penelitian Kualitatif (Widyaiswara Madya BPPP Tegal), h. 65.
[35] Lexy J. Moeloeng, Teknik Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 31.
[36] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tinjau diakses pada tanggal 01 September 2017.
[37] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/teologis diakses pada tanggal 01 September 2017.
[38] Simon Petrus L. Tjahjadi. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 182, 181, 247.
[39] Th Van den End. Harta dalam Bejana, Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 233, 230, 232, 231.
[40] Ibid.
[41] Benni E. Matindas. Meruntuhkan Benteng Ateisme Moder  (Yogyakarta: Andi, 2010), h. 118.
[42] Ibid, hal. 119.
[43] Louis Berkhof. Doktrin Allah (Surabaya: Momentum, 2013), h. 311.
[44] Henry C. Thiessen. Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 2015), h. 188.
[45] Louis Berkhof. Opcit, h. 325.
[46] Louis Berkhof. Opcit, h. 311.
[47] Ibid. 320.
[48] Louis Berkhof. Opcit, h. 334.

Doktrin Allah Pada Era Postmodern: Suatu Tinjauan Teologis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STUDI ALKITABIAH MENGENAI KESUPRANATURALAN YESUS KRISTUS BERDASARKAN MATIUS 1:18-25

PERAN KOMPETENSI GURU PAK DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA/I DI SD KWITANG 2 PSKD JAKARTA PUSAT

LATAR BELAKANG STT HAGIASMOS MISSION JAKARTA