MAKNA HARI SABAT: STUDI EKSEGESIS MATIUS 12:1-8
MAKNA HARI SABAT:
STUDI EKSEGESIS MATIUS 12:1-8
Fenieli Harefa, M.Pd.K
ABSTRAK
Artikel ini ingin mengkaji
tentang makna hari Sabat secara alkitabiah melaui studi eksegesis Inijil Matius
12:1-8. Ahli Taurat dan orang Farisi menuduh Yesus telah melanggar hari Sabat.
Pada zaman Tuhan Yesus, ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menjadikan
hari Sabat menjadi suatu beban dengan menentukan 39 macam pekerjaan yang
diharamkan pada hari Sabat. Kajian yang dilakukan bersifat teologis melalui
studi pustaka. Dan temuan dalam penelitian ini melalui studi eksegesis Matius
12:1-8 adalah: pertama, inti dari
peraturan adalah mengutamakan hidup; kedua,
mengkritisi orang-orang Farisi yang terlalu fokus terhadap Ritual agama/Sabat
dengan mengesampingkan kebutuhan lahiriah/jasmani (hidup manusia); ketiga, Ia membandingkan diriNya dengan
Daud dan imam-imam yang adalah tidak diangggap bersalah atas tindakan mereka,
dan Yesus memproklamasikan diri bahwa Dia adalah pemilik hari tersebut. Melalui
artikel ini penulis menyimpulkan bahwa Yesuslah yang berkuasa atas hari Sabat
karena Ia adalah Tuhan. Ia tidak meniadakan peraturan hari Sabat yang telah
Allah tetapkan, akan tetapi Ia mengecam penyalahgunaan peraturan-peraturan yang
dilakukan ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
Kata-kata Kunci: Hari Sabat, Studi Eksegesis, Anak Manusia, Tuhan atas hari Sabat.
PENDAHULUAN
Sabat
merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan orang percaya. Perintah
untuk menguduskan hari Sabat, dituliskan oleh jari Allah sendiri pada loh batu
ketika Musa menghadap Allah di gunung Sinai. Allah menghendaki setiap umat-Nya
untuk beristirahat dan menguduskan hari Sabat. Karena Allah telah menyelesaikan
pekerjaan-Nya yaitu penciptaan alam semesta dengan segala isinya selama enam
hari, maka pada hari ketujuh Ia berhenti dan menguduskan-Nya. Sabat adalah hari
ketujuh, yakni hari Sabtu; pada zaman Alkitab, hari beristirahat dan berbakti
(Kel. 28:8-12; Mrk. 2:27-28).[1]
Hari Sabat harus dirayakan dengan
menyucikan dan mempersembahkan hari ini untuk Allah, oleh sebab itu pada hari
Sabat umat pilihan Allah berhenti dari pekerjaan sehari-hari. Akan tetapi, jika
manusia berhenti dari pekerjaan dan tidak melakukan apapun, maka hal yang sama
dengan hewan peliharaan seperti: babi, lembu, dan keledai juga memelihara hari
Sabat seperti umat pilihan. R. Soedarmo mengatakan, istirahat bukan berarti
berhenti dan berdiam saja. Tuhan berhenti pada hari ketujuh bukan untuk tidak
bekerja selanjutnya, Yesus mengatakan ”Bapa-Ku bekerja sampai sekarang” Yohanes
5:17.[2]
Akan tetapi pada zaman Yesus, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah
menjadikan hari sabat suatu beban. Orang-orang Farisi menentukan 39 macam
pekerjaan yang diharamkan (dilarang) pada hari sabat, misalnya: menabur,
membajak, menulis dan menghapus tulisan, memotong kayu, dan lain-lain.[3] Sehingga
peraturan-peraturan hari Sabat adalah tempat dimana kuk hukum Taurat,
sebagaimana ditafsirkan orang-orang Farisi menjadi sangat berat.[4]
Melalui peraturan-peraturan hari
sabat tersebut, maka para ahli Taurat dan orang Farisi memandang bahwa tindakan
para murid ketika memetik bulir gandum pada hari Sabat sebagai tindakan
melanggar hukum Taurat, sebagaimana dijelaskan oleh: F. F. Bruce & Harun
Hadiwijono.[5]
Dan juga Dianne Bergant & Robert J. Karris berpendapat hal yang sama.[6]
Dalam perikop murid-murid memetik bulir gandum pada hari Sabat menimbulkan
kesan seakan-akan terdapat dua pandangan mengenai hari Sabat yang bertabrakan:
pandangan kaum Farisi yang berdasarkan hukum dan pandangan Yesus yang bebas.[7]
BAHASAN
Kajian Teori
Kata Sabat berasal dari kata Ibrani
(שבת shabbāṯ, Shabbat,
"istirahat" atau "berhenti bekerja", 'berhenti',
'melepaskan'). Alkitab menetapkan bahwa satu dari 7 hari harus diindahkan
sebagai hari suci bagi Allah. Dari alasan yang dikemukakan untuk mengindahkan
sabat dalam Kesepuluh Hukum, kita ketahui bahwa istirahat sabat itu ditetapkan
sendiri oleh Allah saat penciptaan (Kel 20:8-11).[8]
Karena itu sabat adalah tata tertib penciptaan. Sabat adalah hari istirahat
setiap Sabtu
dalam Yudaisme.
Hari Sabat dirayakan dari saat sebelum matahari terbenam pada hari Jumat
hingga tibanya malam pada hari Sabtu.
Perayaan ini dilakukan oleh banyak orang Yahudi
dengan berbagai tingkat keterlibatan dalam Yudaisme.
Dari kata Sabat ini diperoleh istilah Sabbath
dalam bahasa Inggris, Sabt dalam bahasa
Arab (السبت), dan Sabtu
dalam bahasa Indonesia.
Dari kata ini pula muncul konsep "sabatikal",
yaitu berhenti bekerja pada Sabat. Orang Yahudi menganggap peringatan Sabat,
sebagai hari ke-7 setiap minggu, tidak terputus sejak ditetapkan saat Allah
menciptakan alam semesta, di mana manusia
diciptakan pada hari ke-6.[9]
Dalam peristiwa penciptaan kata sabat tidak muncul. Tapi
akar kata dari mana perkataan itu dijabarkan ada (Kej 2:2).[10] Kata
shabbat dalam bahasa Ibrani berasal dari kata kerja shabat, dalam
bahasa yang sama, yang secara harafiah berarti "berhenti", atau shev
yang berarti "duduk". Meskipun shabbat hampir secara universal
diterjemahkan "istirahat" atau suatu "masa istirahat",
terjemahan yang lebih harafiah adalah "berhenti", dengan implikasi
"berhenti dari melakukan pekerjaan". Jadi Sabat adalah hari
untuk orang berhenti bekerja, dengan implikasinya beristirahat. Kata Ibrani
untuk melakukan "mogok", misalnya, berasal dari akar kata Ibrani yang
sama dengan shabbat, dan mengandung implikasi yang sama, yaitu bahwa
para buruh yang mogok secara aktif berhenti melakukan pekerjaan, dan bukan
secara pasif "beristirahat". Kebetulan, hal ini menjelaskan
pertanyaan teologis yang sering diajukan tentang mengapa Allah
perlu "beristirahat" pada hari yang ketujuh dalam penciptaan alam semesta, seperti yang
dikisahkan dalam Kitab Kejadian pasal
1. Bila dipahami bahwa Allah "berhenti" bekerja
dan bukannya "beristirahat" dari kerjanya, penggunaan ini lebih
konsisten dengan pandangan Alkitab
tentang Allah yang Mahakuasa yang tidak membutuhkan "istirahat".
Namun, sering diikuti terjemahan yang jauh lebih umum yaitu sabat
sebagai "istirahat".[11] Ada
kerancuan bahasa yang lazim di mana banyak orang percaya bahwa Sabat itu
berarti "hari ketujuh." Meskipun akar kata untuk "tujuh",
atau "sheva", mirip ucapannya dengan Shabbat, tulisannya berbeda. Perayaan
Sabat disebutkan beberapa kali di dalam Torah,
terutama sebagai perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:8-11 dan
Ulangan 5:12-15).
Contoh-contoh lainnya adalah Keluaran 31:12-17, Keluaran 35:2-3, Imamat 19:3, Imamat 19:30, Imamat 23:3 dan
Bilangan 28:9-10 (Korban).
Sabat diacu secara langsung oleh para nabi Yesaya (Yesaya
56:4,6) dan Yehezkiel (Yehezkiel
20, Yehezkiel
22, Yehezkiel
23) dan Nehemia (Nehemia
9:14, selain sejumlah Referensi lainnya dalam Alkitab
Ibrani.[12]
Perayaan Sabat
Sabat
adalah hari perayaan dan salah satu hari beribadah.
Pada hari Sabat orang Yahudi menyajikan makanan yang berlimpah sebanyak tiga
kali setelah kebaktian di sinagoga
selesai: pada Jumat malam, Sabtu tengah hari, dan Sabtu sore sebelum Sabat
berakhir. Lebih banyak orang Yahudi yang berusaha menghadiri kebaktian di sinagoga
pada hari Sabat, dan mungkin tidak hadir pada hari-hari lainnya.
Selain hari
raya Yom Kippur (karena hari itu bukanlah
hari yang menyedihkan, melainkan hari raya yang besar), hari-hari puasa umum
ditunda atau dimajukan sehari bila jatuhnya bersamaan pada hari Sabat, dan
orang-orang berduka yang menjalani "Shivah", dari luarnya
berusaha tampil biasa saja selama hari Sabat. Mereka bahkan dilarang
memperlihatkan tanda-tanda kedukaan di depan umum.[13] Saat
ini beberapa gereja di seluruh dunia yang juga merayakan dan memelihara Hari
Sabat pada Hari Sabtu yaitu Gereja Yesus Sejati (True Jesus Church) dan Gereja
Masehi Advent Hari Ketujuh (Seventh Day Adventist Church). Waktu yang digunakan
untuk berbakti dan merayakan Hari Sabat sama dengan waktu perayaan Sabat orang
Yahudi yaitu dimulai dari Jumat Malam (tepat di saat matahari terbenam) dan
berakhir pada Sabtu Malam (tepat di saat matahari terbenam).
Kewajiban
Menurut
sastra rabinik,
orang Yahudi diperintahkan Allah untuk merayakan (menghindari kegiatan
yang dilarang) dan mengingat (dengan kata-kata, pikiran, dan tindakan)
Sabat. Kedua tindakan ini dilambangkan oleh penyalaan dua batang lilin
pada akhir Jumat sore (tidak kurang dari 18 menit sebelum matahari tenggelam
pada hari Jumat) oleh kaum perempuan Yahudi, biasanya ibu/istri.
Meskipun kebanyakan hukum Sabat bersifat melarang, hukum
keempat dari Sepuluh Perintah Tuhan
dalam Kitab Keluaran
diambil oleh Talmud untuk mengacu kepada
aspek-aspek yang positif dari Sabat. Hal itu antara lain adalah: Pengucapan
kiddush pada secawan anggur kosher
sebelum makan untuk menghormati hari itu di malam hari dan pagi hari, sambil
menekankan kekudusan harinya (lihat Daftar Doa-doa Ibrani); Tiga
kali makan dengan penuh sukacita yang minimal meliputi roti
(potongan roti challah yang tradisional) dan daging (menurut kebanyakan
pandangan tradisional). Mempelajari Torah
(lihat bawah); Mengucapkan Havdalah
pada berakhirnya Sabat pada Sabtu malam (diucapkan pada secawan anggur, dengan
rempah-rempah yang harum, dan lilin).[14]
Larangan
Hukum
Yahudi melarang penganutnya melakukan segala bentuk melachah
("kerja", plural "melachot") pada hari Sabat. Melachah
tidak sama artinya dengan definisi "kerja" dalam bahasa lain. Artinya
pun tidak sama dengan definisi istilahnya sebagaimana dipergunakan dalam fisika.
Kata ini mengacu kepada "39 kategori aktivitas" yang dilarang oleh Talmud
dilakukan oleh orang Yahudi pada hari Sabat; ke-39 kategori ini disimpulkan
secara eksegetis (berdasarkan perbandingan terhadap ayat-ayat Alkitab yang
sepadan) dari jenis-jenis pekerjaan yang perlu untuk membangun Kemah
Suci. Banyak ahli agama yang telah menunjukkan bahwa semua
kegiatan ini mempunyai kesamaan—semua aktivitas ini bersifat "kreatif",
atau kegiatan yang mengandung kontrol atau kuasa terhadap lingkungan seseorang.[15]
Berdasarkan Traktat Sabat Mishnah
7:2, ke-39 kegiatan yang dilarang itu adalah: Menabur; Membajak; Menuai; Mengikat
berkas gandum; Membuang sampah; Menampi; Memilih; Mengasah; Memilah; Membuat
adonan; Membuat roti; Menggunting wol; Mencuci wol; Memukuli wol; Mewarnai wol;
Memintal; Menenun; Membuat dua simpul; Menenun dua lembar benang; Memisahkan
dua lembar benang; Mengikat; Melepaskan ikatan; Menjahit robekan; Merobek; Menjerat;
Memotong hewan; Terbang; Mewarnai kulit binatang; Menyapu untuk mencari barang
yang hilang; Menandai kulit binatang; Memotong kulit hingga menjadi bentuk
tertentu; Menulis dua atau lebih huruf; Menghapus dua atau lebih huruf; Membangun;
Meruntuhkan bangunan; Mematikan api; Menyalakan api; Memberikan sentuhan
terakhir pada sebuah benda; Memindahkan benda dari tempat pribadi ke tempat
umum, atau sejauh 4 hasta dalam batas tempat umum. Banyak orang Yahudi
Ortodoks menghindari larangan "membawa" dengan membuat kunci mereka
bagian dari ikat pinggang
mereka.
Kegiatan yang diizinkan
Kegiatan-kegiatan
berikut ini dianjurkan dilakukan pada hari Sabat: Merayakan Sabat bersama-sama
dengan keluarga dekat; Pergi ke sinagoga
untuk berdoa; Mengunjungi
keluarga dan teman (dalam jarak yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki); Menerima
tamu (hachnasat orchim, "keramah-tamahan"); Menyanyikan zemirot
nyanyian-nyanyian khusus untuk makan Sabat (biasanya dinyanyikan pada saat atau
setelah makan). Membaca, mempelajari, dan mendiskusikan Torah dan
tafsirannya, Mishnah dan Talmud,
mempelajari Halakha dan Midrash. Berhubungan
seksual dengan suami atau istri, khususnya pada Jumat malam. (Shulchan Aruch
menggambarkan hal ini sebagai "mitzvah
ganda," karena menggabungkan prokreasi
dengan sukacita Sabat, dan keduanya dianggap diperintahkan oleh Torah.) Menurut
para rabi "Reform", segala sesuatu yang meningkatkan sukacita Sabat
sebagai hari yang khusus dan rohani sangat dianjurkan.[16] Ajaran
Yahudi tentang Shabbat diadopsi dan digunakan oleh agama-agama lain.
Bapa-bapa gereja mula-mula, termasuk Yustinus
Martir, memindahkan peringatan Sabat dari hari Sabtu (hari
ketujuh) ke Minggu
(hari pertama) dalam proses pemisahan historis dan teologis dari Yudaisme.
Konsep beristirahat di hari Minggu ini digunakan hampir di seluruh dunia dan
telah menjadi hari raya Kristen sekaligus hari libur sekuler.[17]
Metode Penelitian
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif. Penulisan artikel ini didasarkan
pada penelitian kepustakaan yaitu menelusuri literatur dan penelaahnya.[18]
Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dan eksegesis. Analisis
adalah penguraian atau kupasan.[19]
Deskriptif adalah bersifat menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal apa
adanya.[20]
Eksegesis adalah penjelasan atau penafsiran teks.[21]
Menurut W. R.F. Browning, eksegesis adalah menguraiakan hal-hal yang tidak
jelas dan mencari hubungan antara suatu kata, ayat atau bagian, dengan kata,
ayat atau bagiannya dalam rangka menentukan maknanya yang pasti.[22]
Dalam
penelitian kualitatif ini, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain
merupakan alat pengumpul data utama. Penulis juga melakukan penelitian pustaka
untuk memperoleh sumber teori yang relevan dengan pokok permasalahan yang
penulis teliti. Penulis melakukan penelitian pustaka untuk memperoleh kajian
teori yang relevan dengan permasalahan yang penulis teliti. Dalam melakukan
penelitian pustaka penulis mencari buku-buku dan membacanya serta mempelajari
bahan literatur yang berhubungan dengan judul artikel ini.
Hasil
Penelitian
Analisa Sintesis Matius 12:1
Ayat ini diawali dengan kata “pada waktu itu” merupakan
penanda waktu yang dipakai juga dalam Mat.11:25. Dalam hal ini sepertinya
Matius tidak bermaksud menunjukkan suatu waktu yang ketat, dan ada terjemahan
yang menyusunnya dalam bentuk yang wajar menjadi ”pada suatu hari sabat”[23].
Terjemahan seperti ini banyak diikuti oleh penerjemah, biasanya mereka
menyusunnya menjadi “suatu waktu pada hari Sabat”. Bagi Matius tidak terlalu
penting untuk menunjukkan persis kapan peristiwa tersebut terjadi, namun yang
terpenting bagi Matius adalah peristiwa tersebut terjadi pada suatu hari
istirahat (hari besar) orang-orang Yahudi yakni hari Sabat. Dimana Yesus
berjalan akan tetapi berdasarkan penelitian penulis ini lebih baik
diterjemahkan menjadi “Yesus dan murid-muridNya berjalan” untuk menjelaskan
bahwa bukan hanya Yesus yang berjalan, tetapi dia bersama-sama dengan
murid-muridNya. Jalan yang mereka lewati Barclay M. Newman and Philip C. Stine
menjelaskan bahwa mereka tidak berjalan menembus ladang, akan tetapi mereka
berjalan melalui jalan setapak[24]. Stefan
Leks juga mengatakan “diladang-ladang di Palestina, sering di jumpai jalan
pintas”[25]. Dan
Meyer Benoit dikutip oleh Van Bruggen mengatakan tidaklah tepat anggapan bahwa
seakan-akan kebetulan saja pada hari sabat mereka kepergok melakukan kesalahan
umum, yakni “perbuatan terlarang berupa membuat jalan di tengah-tengah ladang
gandum”[26].
Ungkapan “berjalan di ladang
gandum”, J. D. M. Darrett memberi penjelasan: dia menduga,Yesus sedang dalam
perjalan menuju kota lain. Apabila orang berpergian pada hari sabat,orang terpaksa
mengambil jalan putar menyesuri desa-desa itu. Sekiranya dalam perjalanan itu
orang masuk kedalam sebuah kota atau desa, mereka tidak boleh lagi meninggalkan
daerah wajib istirahat di sekitar kota atau desa itu sebelum hari sabat
berakhir. Jadi,orang terpaksa mengitari “daerah
sabat” disekitar kota atau desa itu, dan baru dapat memasuki daerah bila sudah
sampai di tempat tujuan. Tempat itulah yang dijadikan “tempat berteduh” atau
“tempat istirahat”, yang tidak ditinggalkan lagi sampai hari sabat berlalu[27].
Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas itulah yang menjadi alasan Yesus dan murid-muridnya tidak melalui rute
yang umum yakni dengan melintasi kota dan desa-desa, tetapi mereka memilih melalui
jalan setapak di padang dan ladang supaya mereka tidak terjebak di suatu kota
atau desa.
Dalam
perjalanan ini sangat wajar jika murid-murid Yesus “merasa lapar” karena mereka
bertambah jauh berjalan untuk mencapai tempat tujuan sebab mereka mengelilingi
kota atau desa-desa, mereka tidak melalui jalan yang biasa dilewati orang pada
umumnya. Oleh karena lapar murid-murid memetik bulir gandum dan memakannya.
Waktu murid-murid Yesus, memetik dan memakannya, dalam hal ini orang Farisi
tidak mempersalahkan mereka karena memetik bulir gandum yang adalah kepunyaan
orang lain. Atau dengan kata lain orang-orang Farisi tidak menuduh mereka
mencuri. Karena telah tertulis dalam Ul.23:25 “Apabila engkau melalui ladang
sesamamu yang belum dituai, engkau boleh memetik bulir-bulirnya dengan
tanganmu, tetapi sabit tidak boleh kau-ayunkan kepada gandum sesamamu itu. Dan
juga sebenarnya tidak ada hukum yang
melarang orang makan pada hari Sabat, jika nyawa seseorang terancam oleh karena
kelaparan maka dia diizinkan untuk untuk menuai dan makan pada hari sabat. Akan
tetapi, yang dipermasalahkan orang Farisi ialah karena murid-murid memetik
bulir-bulir gandum pada hari Sabat hal
ini dianggap orang Farisi sebagai “menuai pada hari Sabat”, yang adalah
terlarang. Sebab ahli-ahli Taurat telah menetapkan tiga puluh Sembilan macam
pekerjaaan yang terlarang pada hari sabat[28].
Dalam
hal ini, orang Farisi tidak menegur muri-murid Yesus, tetapi mereka langsung
menegur Yesus sebagaimana yang tertera dalam ayat dua. Sebab, menurut orang-orang
Farisi Dialah yang bertanggung jawab atas perbutan murid-muridNya karena
membiarkan mereka.
Ayat 2
Ayat ini diawali dengan kalimat: melihat itu, orang-orang
farisi berkata kepadaNya dalam hal ini tidak ada penjelasan tentang apa yang
dilihat oleh otang Farisi. Pernyataan ini tidak dapat dipisahkan dari ayat
sebelumnya. Maksudnya melihat itu adalah tidak terlepas dari perbuatan atau
tindakan murid-murid pada ayat satu ketika mereka memetik bulir gandum dan
memakannya. Pada ayat satu penulis telah menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan
oleh orang-orang Farisi adalah bukan karena murid-murid mengambil yang bukan
milik mereka. Akan tetapi, yang dipermasalahkan oleh orang Farisi adalah mereka
menganggap bahwa murid-murid melakukan penuaian pada hari Sabat. Sehingga
menurut orang-orang Farisi murid-murid telah melanggar peraturan yang telah
ditetapkan oleh ahli-ahli Taurat.
Oleh
karena itu orang-orang Farisi berkata kepadaNya, lihatlah. Ungkapan lihatlah
pertama kali digunakan dalam Matius 2:9, dalam ayat ini fungsinya untuk menarik
perhatian terhadap apa yang sedang dilakukan oleh murid-murid Yesus[29]. Dan
dilanjutkan dengan perkataan murid-muridMu melakukan sesuatu yang tidak
diperbolehkan pada hari sabat. Orang
Farisi tidak menegur murid-murid Yesus, tetapi mereka langsung berkata kepada
Yesus. Karena menurut orang-orang Farisi Dialah yang bertangggung jawab atas
perbuatan murid-muridNya tersebut.
Menanggapi
tuduhan ini, Yesus tidak memberikan alasan secara langsung mengapa
murid-muridNya melakukan hal itu. Dan Yesus juga tidak menuduh orang Farisi
mengikat orang pada “ajaran manusia”. Yesus
mengakui bahwa murid-muridNya telah melakukan apa yang tidak pantas
dilakukan pada hari Sabat. Pernyataan ini tersirat pada pengakuanNya, dalam
contoh yang diberikanNya, yaitu perbuatan Daud, yang terlarang. Hukum Tuhan
menentukan bahwa roti sajian hanya boleh dimakan oleh para imam semata. Tuduhan
orang Farisi diakui tepat dari sudut formal. Untuk menanggapi tuduhan orang
Farisi Yesus memberi jawaban dengan peristiwa yang telah terjadi pada masa
lampau. Dan jawaban yang diberikan Yesus dapat dikelompokkan dalam tiga bagian
yakni: ayat 3-4 tindakan Daud dan pengikutnya, ayat 5 tugas imam dalam
mempersembahkan korban, ayat 6-8 pernyataan Yesus menunjuk pada diriNya. Namun
demikian menurut Jakob Van Bruggen menyatakan:
Ketentuan umum tidak berlaku pada keadaan luar biasa. Apakah
artinya luar biasa? Yesus terlebih dahulu
memberi contoh dari kehidupan Daud. Kitab Suci sendiri menunjukkan bahwa pada
kesempatan tertentu hukum Tuhan tidak diterapkan pada Daud. Sama seperti
murid-muridNya, Daud dan para pengiringnya merasa lapar. Peristiwa tentang Daud
juga berlangsung pada hari sabat, sebab pada hari itu roti sajian diganti,
sehingga imam besar dapat mengatakan ia punya roti sajian (Im.24:8; I
Sam.21:4,6)[30]
Dalam
peristiwa tersebut Daud tidak berpergian dengan urusan sendiri, tetapi ia
sedang menjalankan tugas negara (Daud menyelamatkan diri). Dalam I Sam. 21,
para imam melakukan perbuatan yang
istimewa karena Daud mempunyai tugas istimewa pula. Demikian juga Yesus
menyamakan diriNya dengan Daud dan menjelaskan bahwa pada hari ini Dia dalam
perjalanan dinas bagi sang Raja (Allah)[31]. J. J.
de Heer mengatakan juga: bahwa secara tersembunyi Yesus mempertalikan diriNya
dengan Daud. Yesus adalah anak Daud, Sang Mesias. Jadi, yang diperbolehkan
kepada Daud, diperbolehkan juga kapada anak Daud itu[32].
Ayat 3-4
Ayat ini diawali dengan kalimat tetapi jawab Yesus
kepada mereka dan BIS menerjemahkan “jawab Yesus” ini merupakan jawaban Yesus atas
pernyataan orang Farisi pada ayat sebelumnya. Dalam bahasa Yunani dipakai kata
ganti orang kedua tunggal o` (Ia, Dia) untuk Yesus. Untuk menanggapi tuduhan
orang Farisi tersebut, Yesus tidak langsung memberi alasan mengapa
murid-muridNya melakukan hal tersebut, tetapi Ia kembali bertanya kepada mereka
tidakkah kamu baca. Menurut Barclay M. Newman and Philip C. Stine mengatakan:
pertanyaaan ini merupakan pertanyaan retoris yang menuntut jawaban “ya”[33]. Yang
dimaksud oleh Yesus tidakkah kamu baca adalah mengenai peristiwa tentang Daud
dan mereka yang mengikutinya lapar. Yang dimaksud dengan mereka yang
mengikutinya adalah menuju pada pengikut-pengikut Daud. BIS menerjemahkan
dengan “orang-orangnya”.
Kalimat
tanya pada ayat keempat bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah merupakan
lanjutan dari ayat tiga tentang tindakan Daud. Perlu diketahui bahwa Rumah
Allah di sini adalah bukan Bait Suci yang di bangun oleh Salomo di Yerusalem.
Tetapi Rumah Allah di sini yang dimaksud adalah “tempat kehadiran Allah” atau
“kemah (tenda) dimana Allah hadir”[34].
Pertanyaan selanjutnya bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh
dimakan. Kalimat pertanyaan yang menyatakan “Bagaimana ia masuk… dan makan”
mempunyai arti harafiah yang menunjuk bahwa hanya Daud saja yang masuk dan
makan. Hal ini sesuai dengan bagian paralel dengan kisah ini dalam Mrk.2:26 maupun Luk.6:4.
Namun
beberapa naskah Yunani yang lain mengatakan mereka makan seperti yang
diterjemahkan TB, juga teks PB Yunani UBS mengikuti bentuk jamak (mereka). Dalam
hal ini Barclay M. Newman and Philip C. Stine menjelaskan bahwa terjemahan yang
tepat adalah “dia (Daud) masuk ke… dan dia bersama orang-orangnya makan…”[35].
Kalimat ini menunjukkan dengan jelas bahwa Daud harus keluar dahulu sebelum dia
dan orang-orangnya makan roti, urutan peristiwanya demikian “ Daud masuk ke
dalam Rumah Allah dan memperoleh roti
yang dipersembahkan kepada Allah, kemudian dia membawanya keluar dan dia serta
orang-orangnya memakan roti tersebut.
Jadi,
mereka tidak makan sama-sama di Bait Allah, sebab pengikut-pengikut Daud tidak
bersama-sama dengan dia saat itu. Roti yang dimaksud di sini berbentuk dua
belas potongan roti yang diletakkan diatas meja persembahan di Rumah Allah
setiap hari sabat[36]. Roti
ini dipersembahkan kepada Allah, lalu pada hari Sabat berikutnya roti ini
menjadi hak para imam, yang harus memakannya di tempat kudus. Peraturan
mengenai hal ini bisa ditemukan di dalam Imamat 24:5-9.
Roti
sajian tersebut tidak diperbolehkan dimakan oleh siapapun termasuk Daud dan juga
pengikut-pengikutnya dan yang dapat memakan roti ini adalah hanya imam-imam
saja. Akan tetapi, dalam keadaan darurat (kelaparan) Daud dan imam berani
menyimpang dari suatu kebiasaan yang suci menurut hukum Yahudi[37].
Ayat 5
Kemudian dalam ayat ini, Yesus kembali mengajukan
pertanyaan retoris kepada orang-orang Farisi tentang imam-imam yang bekerja
dalam Bait Allah pada hari sabat. Pertanyaan retoris yang diajukan Yesus adalah
atau tidakkah kamu baca. Kata atau di
sini berfungsi untuk menggabungkan jawaban Yesus terdahulu dengan pertanyaan
yang sekarang diajukanNya.Yang menunjuk pada pertanyaan tidakkah kamu baca
dalam Kitab Taurat. Kitab Turat yang dimaksud di sini adalah bagian pertama
dari Kitab Suci orang Yahudi[38]. Dimana
pada hari sabat, imam-imam melanggar hukum Taurat di dalam Bait Allah.
Melanggar
hukum sabat diterjemahkan oleh BIS menjadi “melangggar peraturan”. Kata kerja
yang digunakan dalam bahasa aslinya hanya digunakan sekali lagi di seluruh PB,
yaitu di dalam Kis. 24:6 (LAI: mencemarkan, BIS: menajiskan)[39].
Pelanggaran imam-imam yang dimaksud di sini adalah tentang pekerjaan yang
mereka pada hari Sabat. Dimana pada hari Sabat mereka (imam) mempersembahkan
korban harian dan mengganti roti yang dipersembahkan kepada Allah dengan roti
yang baru (Bac. Bil.28:9-10), namun mereka tidak bersalah.
Jadi,
yang mau ditunjukkan Yesus kepada orang-orang Farisi di sini adalah bahwa pada
saat para imam mengerjakan tugas-tugas mereka di Bait Allah pada hari Sabat,
sebenarnya mereka melanggar peraturan Sabat. Akan tetapi Kitab Taurat
menunjukkan bahwa mereka tidak dianggap bersalah karenanya.
Ayat 6
Ayat ini diawali dengan Aku berkata kepadamu, susunan
kalimat yang serupa terdapat di dalam Mat.5:20. Kalimat ini berfungsi untuk
menggabungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya dan untuk menekankan kata-kata
yang mengikutinnya. Pernyataan di sini ada yang melebihi Bait Allah,
penekanannya terletak pada “Bait Allah” [40].
J. J.
de Heer mengatakan bahwa: “Memang Bait Allah lebih penting dari Sabat”[41]. Akan
tetapi, dalam pernyataan yang dilontarkan oleh Yesus kepada orang Farisi ada
lagi yang melebihi Bait Allah, agak sulit untuk menjelaskan apa yang melebihi Bait Allah tersebut. Karena
tidak ada terjemahan yang mencoba untuk menterjemahkannya. Namun, dengan
demikian penulis menyimpulkan bahwa: yang melebihi bait Allah adalah Yesus itu
sendiri sesuai dengan pernyataan pada Ayat delapan “Anak manusia adalah Tuhan
atas hari Sabat”, Anak manusia di sini menunjuk pada pada diri Yesus. Prof. E.
Schwrizer di kutip oleh J.J.de Heer berpendapat bahwa: “sesuatu yang melebihi
Bait Allah tersebut adalah kerajaan Allah yang mulai terwujud dengan kedatangan
Yesus Kristus[42].
Dan juga Barclay M. Newman and Philip C. Stine menegaskan bahwa: yang dimaksud
melebihi Bait Allah adalah Yesus sendiri, yang kekuasaannya melebihi Bait Allah
maupan hari Sabat[43].
Ayat 7
Dalam ayat ini Yesus menyebutkan suatu hal lagi yang
melebihi Sabat, yakni belas kasihan. TB mengawali terjemahannya dalam ayat ini
dengan jika kamu mengerti arti Firman ini, sedangkan BIS menerjemahkannnya
dengan Di dalam Alkitab tertulis. Dalam hal ini BIS menunjukkan bahwa kata-kata
yang diucapkan Yesus ini dikutip dari Alkitab yakni Hosea 6:6. Suatu bagian
telah dikutp Matius sebelumnya yakni dalam Mat.9:13. Dalam ayat ini J.J. de Heer
mengatakan bahwa “belas kasihan dan bukan persembahan” adalah suatu gaya bahasa
Ibrani yang berarti belas kasihan lebih dari persembahan.[44]
Dalam
hal ini Yesus menyatakan kembali kepada orang Farisi bahwa hukum kasih adalah
hukum yang tertinggi. Dalam Mrk.2:27 Yesus mengatakan bahwa “Sabat diadakan
untuk manusia dan bukan manusia untuk
hari Sabat”. Jakob Van Bruggen mengatakan bahwa “Yesus tidak berbicara
mengenai sifat hari Sabat, tetapi
mengenai pengadaannya[45].
Ungkapan
mengerti maksud Firman ini bukan hanya sekedar menyadari tentang suatu Firman
yang dimaksud. Menyatakan bahwa orang-orang Farisi tahu kalau Firman yang
diucapkan Yesus ini kutipan dari Kitab Suci, tetapi mereka tidak mengerti
maksudnya. Jika orang-orang Farisi mengerti arti Firman itu yakni tentang
kasih, tentu mereka tidak akan mempermasahkan tindakan murid-murid Yesus
tersebut. Sebab kasih menutupi banyak dosa I Pet. 4:8. Jadi, karena mereka
tidak mengerti hal itu makanya mereka menyatakan tindakan murid-murid tersebut
suatu kesalahan.
Ayat 8
Ayat delapan ini, diawali dengan
kata ‘karena’ merupakan penghubung yang mengindikasikan bahwa ini adalah suatu
peralihan logis dari jawaban Yesus sebelumnya dengan pernyataan yang sekarang.
Dimana pada ayat sebelumnya Yesus telah menanggapi tuduhan orang-orang Farisi
dengan menuju pada peristiwa yang di masa lampau mengenai peristiwa mengenai
Daud dan pengikutnya lapar dan para imam yang melakukan tugas mereka dalam Bait
Suci. Kemudian dialihkan dengan ayat delapan dimana Yesus tidak lagi berbicara
mengenai peristiwa yang terjadi masa lampau yakni tentang Daud dan para imam
yang mekukan tugas mereka. Akan tetapi, memberikan suatu pernyataan bahwa ‘Anak
Manusia adalah pemilik hari Sabat’.
Yesus
menerangkan bahwa Anak Manusia adalah pemilik hari Sabat dalam ayat delapan
karena orang-orang Farisi menuduh bahwa tindakan para murid memetik bulir
gandum melanggar peraturan Sabat. Dalam hal ini orang-orang Farisi meminta
pertanggungjawaban kepada Yesus dengan menarik perhatian-Nya terhadap yang
sedang dilakukan murid-murid-Nya dengan memakai kata seru lihatlah! Karena menurut orang-orang Farisi Dialah yang
bertanggung jawab atas perbuatan murid-murid-Nya tersebut.
Jadi,
berdasarkan tuduhan orang-orang Farisi tersebut Yesus menyatakan bahwa tidak
ada hak orang-orang Farisi untuk menyatakan bahwa tindakan para murid tersebut
adalah salah. Karena mereka tidak berkuasa atas hari Sabat. Adapun yang
berkuasa atas hari Sabat, dan inilah yang Yesus nyatakan pada pernyataan-Nya.
Kemudian
Yesus melanjutkan pernyataan-Nya yaitu karena ‘Anak Manusia’, konsep Anak
Manusia yang dipakai oleh Yesus dalam pernyataan-Nya berbicara tentang diri-Nya
sendiri dengan menggunakan sebutan orang ketiga. Beberapa versi terjemahan
(KJV, NAS, NIB, TB, BIS) kata yang dipakai untuk adalah Son of Man artinya Anak
Manusia.
Istilah
Anak Manusia dalam Perjanjian Lama, nama ‘anak manusia’ dapat ditemukan dalam
Mzm. 8:5; Dan. 7:13, dan sering kali muncul dalan nubuatan nabi Yehezkiel.[46]
Istilah Anak Manusia yang dipakai dalam Perjanjian baru berasal dari kitab
Daniel, dalam kitab ini hanya merupakan sebutan yang deskriptif, karena dalam
bentuk nubuatan dan belum menjadi sebuah gelar. Namun, dalam Pejanjian Baru
istilah ini merupakan suatu penunjukkan diri Yesus yang sangat umum.
Hal yang menunjukkan bahwa Yesus berbicara tentang
diriNya sendiri adalah kenyataan di salah satu Injil dipakai “Anak manusia”
dalam bentuk orang ketiga, sedangkan Kitab Injil lainnya memakai bentuk orang
pertama “Aku”[47].
Contohnya ialah pernyataan Yesus dalam Mat.16:13, “kata orang, siapakah Anak
manusia itu”? Ayat-ayat paralel di dalam Mrk.8:27 dan Luk.9:18 memakai bentuk
orang pertama “Aku”. Dalam Injil Mat.16 itu sendiri, dua ayat berikutnnya
Matius menegaskan bahwa Yesuslah yang dimaksud dengan “Anak Manusia” dengan
menambahkan pertanyaan “tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”.
Dan
beberapa penafsir lainnya menyatakan bahwa istilah ‘Anak Manusia’ yang dipakai
oleh Yesus dalam pernyataan-Nya pada ayat ini berbicara tentang diri-Nya
sendiri. David Pan Purnamo menyatakan “Gelar Anak Manusia muncul 82 kali dalam
PB, dan hampir semua keluar dari mulut Tuhan Yesus untuk menyebut diri-Nya.[48] Dan Louis Berkhof menjelaskan
bahwa: “Yesus sendiri memakai nama ‘Anak Manusia’ ini untuk menunjuk
diri-Nya lebih 40 kali dalam kesempatan-kesempatan
yang berbeda, sedangkan orang lain tidak mempergunakannya.”[49]
Dan juga Donald Guthrie mengatakan bahwa: “Semua sebutan-sebutan tentang Anak Manusia dalam Injil Sinoptik
semuanya menunjuk pada diri Yesus sendiri[50].
Satu-satunya pengecualian dalam Injil Yohanes 12:34, dan dimana-mana itu
dipakai dalam kutipan kalimat Yesus. Dan dalam seluruh PB, hanya Stefanus dan
Yohanes yang memakainya, Kis.7:56; Why. 14:14.
Vos
dalam bukunya The Self Disclosure Of Jesus dikutip oleh Louis Berkhof membagi
ayat-ayat yang memakai nama ini dalam empat kelompok,[51] yakni:
menunjukkan eskatologi kedatangan Anak Manusia,
misalnya: dalam Mat.16:27,28; Mrk. 8:38; 13:26 dan ayat-ayat parelelnya. Berbicara
secara spesifik tentang penderitaan Tuhan Yesus, kematian dan (kadang-kadang)
kebangkitan-Nya, misalnya: Mat. 17:22; 20:18,19,28; 12:40 dan ayat-ayat
paralelnya. Ayat-ayat dalam Injil Yohanes dinama sisi manusia surgawi
yang istimewa serta pra-eksistensi Yesus sangat ditekankan, misalnya Yoh.1:51;
3:13,14; 6:27,53,63; 8: 28 dsb. Dan
ayat-ayat lainnnya merefleksikan natur manusiawi, misalnya: Mrk. 2:27,28; Yoh.
5:27; 6:27,51,62.
Jadi, dari uraian tersebut di
atas, sangat jelas bahwa istilah ‘Anak Manusia’ yang Yesus pakai dalam
pernyataan-Nya tersebut menunujuk pada diri-Nya sendri. Dalam
pernyataan Yesus Anak Manusia adalah pemilik pada ayat ini, kata “pemilik”
merupakan penegasan pernyataan bahwa Anak Manusia adalah berkuasa. Beberapa
terjemahan versi bahasa Inggris (KJV,
NAS, NIB, NIV, TB) kata yang pakai untuk ku,rioj adalah Lord artinya: pemilik,
tuan, dan Tuhan. Sedangkan BIS menterjemahkannnya berkuasa. Walupun dalam hal
ini ada perbedaan terjemahan penulis menyimpulkan arti dari kata ku,rioj adalah pemilik atau Tuhan, karena Dia
adalah pemilik maka, Ia berkuasa.
Kata kurios dalam terjemahan septuaginta
dipakai untuk menyebut nama Tuhan. Perjanjian Baru mengikuti terjemahan
septuaginta ini, yang menggantikan Adonai dengan kata ini dan menyetarankanya
dengan Kurios, yang diturunkan dari kata Kuros yang berarti kuasa.[52] Louis
berkhof kemudian menjelaskan bahwa nama ini menunjuk Allah sebagai yang
Mahakuasa, Tuhan, pemilik, penguasa yang memiliki kuasa resmi dan juga
otoritas, dan juga kata ini dipakai untuk menunjuk Kristus.[53]
Louis
Berkhof menyetarakan nama Kurios dengan: pertama,
sebagai nama yang setara dengan Yehovah; kedua
sebagai nama pengganti Adonai; dan
yang ketiga, sebagai terjemahan dari gelar penghormatan yang dinaikkan
manusia kepada Allah (terutama nama Adon), Yos. 3:11; Mzm. 95:7.[54] Dan
dalam Perjanjian Baru dapat ditemukan tiga penerapan nama ini menuju pada diri
Yesus yakni: sebagai sapaan yang hormat dan amat menghargai, Mat. 8:2; 20:33. Sebagai
pernyataan kepemilikan dan otoritas, tanpa bermaksud menunjukan apa-apa tentang
sifat Ilahi Kristus serta otoritas-Nya, Mat. 21:3; 24:42. Dengan pengertian
otoritas tertinggi, menyatakan sifat yang sangat di muliakan, dan kenyatan
secara praktis setara dengan nama Allah, Mrk. 12:36,37; Luk. 2:11; 3:4; Kis.
2:26; I Kor. 12:3; Flp. 2:11.[55] Jadi,
berdasarkan penjelasan tersebut di atas dalam pernyataan tersebut Yesus
menegaskan bahwa Anak manusia mempunyai otoritas karena Dia adalah pemilik. Dan
pula, “Anak Manusia dalam hal ini bukan hanya sekedar pemilik biasa karena nama
Kurios dalam PB adalah pengganti nama Adonai dalam PL. Atau dengan kata lain
nama Kurios dalam PB setara dengan nama Adonai dalam PL. Kata Adonai diturunkan
dari dun (din), atau adan yang keduanya berarti menghakimi,
memerintah dan dengan demikian menunjuk kepada Allah sebagai penguasa yang kuat,
kepada siapa semua harus berhadapan, dan kepada-Nya manusia adalah hamba.[56] Pada
zaman PL Adonai adalah nama yang biasa dipakai orang Israel untuk menyebut
Allah. Jadi, Kurios dalam PB setara dengan nama Adonai dalam PL yang adalah
dipakai untuk sebutan nama Allah, maka Kurios dalam hal ini untuk Yesus yang
adalah Allah. Di dalam pernyataan tersebut menyatakan bahwa Anak Manusia adalah
pemilik, hal yang dimaksud Anak Manusia sebagai pemiliknya adalah hari Sabat.
Beberapa versi terjamahan (KJV, TB,
BIS) kata dipakai untuk sabba,tou adalah
Sabbath day artinya hari Sabat. Sedangkan terjemahan (NAS, NIB,NIV)
menterjemahkan kata ini Sabbath artinya: perhentian. Dari terjemahan tersebut
tidak ada perbedaan yang menonjol, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama.
Namun, terjemahan KJV, TB, BIS, dalam hal ini lebih spesifik.
Setelah Sang Khalik mengungkapkan
perkenaan-Nya atas segala sesusatu yang Ia ciptakan, termasuk manusia, puncak
dari penciptaan, Dia menyatakan bahwa karnya-Nya sudah selesai. Maka, pada hari
ketujuh Dia berhenti dan tidak melakukan penciptaan lagi akan tetapi, Ia
menguduskan hari tersebut.
Allah menetapkan suatu hari Sabat
dengan tujuan untuk mengingatkan umat-Nya bahwa Dialah pencipta, sehingga
dengan demikian umat-Nya memuji Dia sebagai ucapan syukur (bdg. Kel. 20:8-11).
Hari ketujuh dipisahkan untuk dihaormati dan dikuduskan sepanjang tahun sebagai
pengingat bahwa Allah telah menetapkan suatu masa istirahat, penyegaran dan
perhentian menyeluruh dari semua kegiatan.[57]
Menguduskan hari Sabat berarti memisahkan berbeda dengan hari yang lain dengan
berhenti bekerja supaya dapat istirahat, melayani Allah, dan memusatkan
perhatian pada hal-hal yang menyangkut keabadian, kehidupan rohani dan
kehormatan Allah.[58] Hill
& Walton menjelaskan bahwa,
Hari
Sabat adalah suatu tanda kovenan antara Yahweh dan Israel yang menunjukkan
hubungan khusus Israel dengan Allah dan
bersaksi bahwa kekudusan Israel berakar dari Allah yang kudus, bukan dalam
hukum dan upacara (Kel. 31:12-17; dbg. Im. 26:2). Pada zaman Yesus, manfaat dan
praktis dan kemanusiaan hari Sabat sudah dikaburkan bahkan hilang oleh
legalisme Yudaisme (bdg. Mat. 12:1-4; Mrk. 7:1-13).[59]
Menguduskan hari Sabat Hill &
Walton menjelaskan tujuannya adalah menghormati Allah[60], Allah
berhak menerima hormat dari Israel sebagai peringatan akan karya-Nya dalam
penciptaan (Kel. 20:11) dan sebagai ucapan syukur karena Allah telah melapaskan
mereka dari tanah Mesir (Ul. 5:15).
Dari uraian tersebut di atas sangat
jelas bahwa Anak Manusia dalam pernyataan Yesus tersebut menunjuk pada diri-Nya
sendiri. Dan Anak Manusia tersebut berkuasa atas hari Sabat karena Dialah
pemilik hari tersebut. Dan tujuan Allah menetapkan hari Sabat adalah agar
umat-Nya mengingat bahwa Dialah pencipta, sehingga dengan demikian umat-Nya
memuji Dia, karena bersyukur. Jadi, tidak ada peraturan yang dapat mengikat Dia
untuk menyatakan bahwa Dia telah melanggar peraturan hari Sabat. Akan tetapi,
sebaliknya Dialah yang berhak untuk menentukan peraturan tentang apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan pada hari Sabat dengan kata lain Dialah yang
mengendalikan hukum mengenai hari Sabat, karena Dilah pemilik hari tersebut.
Kesimpulan
Anak
Manusia (Yesus) adalah Tuhan atas hari Sabat, karena Yesus adalah Tuhan Dialah
yang berkuasa atas ciptaannya termasuk
dalam menentukan peraturan hari Sabat. Tuhan memberi peraturan untuk
kebaikan uamatNya/ciptaanNya dan bukan untuk mencelakakannya. Tuhan menciptakan
manusia menurut gambar dan rupa Allah. Dan Allah memiliki sifat-sifat dan salah
satunya adalah kasih. Dan oleh karena manusia diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah, maka manusia harus mencerminkan sifat sang penciptanya Itu.
Melalui studi eksegesis Matius
12:1-8 penulis menyimpulkan bahwa inti dari peraturan adalah mengutamakan hidup,
orang-orang Farisi yang terlalu fokus terhadap ritual agama/sabat dengan
mengesampingkan kebutuhan lahiriah/jasmani (hidup manusia); Yesus membandingkan
diriNya dengan Daud dan imam-imam yang tidak diangggap bersalah atas tindakan
mereka, dan Yesus memproklamasikan diri bahwa Dia adalah pemilik hari tersebut.
Anak Manusia (Yesus) adalah Tuhan
atas hari Sabat, karena Yesus adalah Tuhan Dialah yang berkuasa atas ciptaannya
termasuk dalam menentukan peraturan hari
Sabat. Tuhan memberi peraturan untuk kebaikan uamatNya/ciptaanNya dan bukan
untuk mencelakakannya. Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah.
Dan Allah memiliki sifat-sifat dan salah satunya adalah kasih. Dan oleh karena
manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka manusia harus
mencerminkan sifat sang penciptanya Itu.
Melalui artikel ini penulis dapat menyimpulkan bahwa Yesuslah yang
berkuasa atas hari Sabat karena Dia adalah Tuhan. Dan Dia juga tidak meniadakan
peraturan hari Sabat yang telah Allah tetapkan, akan tetapi yang Ia kecam
hanyalah penyalahgunaan orang-orang Farisi. Dengan demikian melalui karya
ilmiah ini, semoga setiap umat Tuhan memahami maksud dan tujuan Allah
menetapkan hari Sabat.
Saran
Banyak
ajaran yang sumbang menyebar dan
mengajarkan bahwa orang Kristen wajib beribadah pada hari Sabtu, dan menyerukan
harus kembali ke Alkitab. Hal yang sangat penting untuk diketahui ialah bahwa
Sabat orang Yahudi telah digenapkan Kristus di atas salib ketia Ia
“menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentun hukum mendakwa dan
mengancam kita” (Kolose 2:14, 16, 17). Orang Kristen jangan lagi dihukum
mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari
Sabat, sebab semuanya itu hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang
wujudnya ialah Kristus.
Secara
historis, hari Minggu adalah hari di mana biasanya orang-orang Kristen
berkumpul di Gereja, dan kebiasaan ini dapat ditelusuri kembali sampai abad
pertama. Dalam 2 Koinryus 9:12, paulus menyebut persembahan ini sebagai
“pelayanan”, pengumpulan ini pastilah berhubungan dengan ibadah Minggu dari
Jemaat Kristen. Melalui karya ilmiah ini, semoga setiap umat Tuhan memahami
maksud dan tujuan Allah menetapkan hari Sabat. Oleh sebab itu melalui artikel
ini kiranya memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu teologi dogmatika
berdasarkan Alkitab. Memberikan kontribusi bagi orang percaya pada umumnya dan
hamba Tuhan pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bacchiocchi,
S. From Sabbath to Sunday: A Historical Investigation of the Rise of Sunday
Observance in Early Christianity, 1977.
Barth, C. Thelogia Perjanjian lama
1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981.
Bergant,
Dianne & Karris, Robert J. Tafsir
Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisinus, 2002.
Beckwith,
R. T dan Stott, W. This is the Day, 1978.
Berkhof, Louis.
Teologi Sitematika I, Surabaya:
Momentum, 2010.
Berkhof, Louis.
Teologi Sistematika III, Surabaya: Momentum, 2008.
Berkhof, Louis.
Teologi Sitematikan IV, Surabaya: Momentum, 2009.
Browning, W. R.
F. Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Bruce,
F. F. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3,
Jakarta: YKBK, 2008.
Bruggen,
Jakob Van. Markus Injil Menurut Petrus,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Chapman,
Adina. Pengantar Perjanjian Baru, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004.
Douglas,
J.D. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II, Jakarta: YKBK, 1999.
Drane,
John. Memahami Perjanjian Baru, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2005.
Drawes, B. F. Kunci Bahasa Yunani
Perjanjian Baru, Jakarta: BPK, 2008.
Duyverman,
M. E. Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Gara,
Niko. Menafsir Alkitab secara Praktis
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Gering,
Howard M. Analisa Alkitab, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil “Imanuel”, 1994.
Guthrie,
Donald. Teologi Perjanjian Baru I Allah, Manusia, Kristus., Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993.
Heer, J.
J. De. Tafsiaran Alkitab Injil Matius, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Hill,
Andrew E. & Walton, John H. Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas,
2008.
Hoekema,
Anthony A. Manusia Ciptaan Menurut
gambar Allah, Surabaya: Momentum, 2008.
Lee,
F. N. The Covenantal Sabbath, 1972.
Leks,
Stefan. Tafsir Injil Markus, Jakarta: Kanisius, 2000.
Marxsen,
Willi. Pengantar Perjanjian Baru Pendekatan Terhadap Masalah-masalah Kritis,
Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000.
Mcelrath,
W dan Mathias, Billy. Ensiklopedia
Alkitab Praktis, Bandung: Lembaga Literatur
Baptis.
Mounce,
William D. Basics Of Biblical Greek
Grammer, Michigan: Zondervan, 1999.
Murray,
J. Principles of Conduct, 1957.
Nazir,
M. Metode penelitian, Jakarta: Gahlia, 1945.
Newman, Barclay M. and Stine, Philip C. Pedoman Penerjemahan Alkitab Injil Matius/A
Translator’s
Handbook On The Gospel Of Matthew, Jakarta: LAI dalam kerjasama
dengan
Yayasan Kurnia Bakti Budaya Indonesia, 1998.
Nggadas,
Deky H. Y. Bahasa Yunani sebuah
Pengantar 1, Jakarta: Kalangan Sendiri, 2008.
Nixon, R.
E./Nasution, Harris P. Tafsiran Alkitab
Masa Kini 3 Matius-Wahyu Berdasarkan
Fakta-fakta
Ilmiaah dan Alkitabiah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Orr,
J. The Sabbath Scripturally and Practically Considered, 1886.
Stamp,
Donald C. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum Mas, 2000.
Pfeiffer,
Charles F. dan Everett F. Harrison, Everett F., Tafsiran Alkitab Wycliffe
Volume 1 Kejadian-Ester, Malang: Gandum Mas, 2007.
Post,Walter
M. Tafsiran Injil Markus, Bandung: Kalam
Hidup, 1974.
Purnomo,
David Pan. Kristus-Nama di Atas Segala Nama, Jakarta: Ekklesia Training Center,
2000.
Rajasa,
Sutan. Kamus Istilah Populer, Surabaya:
Karya Utama, 2002.
Rordorff,
W. Sunday, 1968.
Sihombing,
Bernike. Mari Belajar Bahasa Yunani, 2005.
Snaith,
N. H. The Jwish New Year Festival, 1947.
Soedarmo,
R. Kamaus Istilah Teologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Susanto,
Hasan. Perjanjian Baru Intelinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian
Baru (PBIK) I, Jakarta: LAI, 2004.
Susanto,
Hasan. Perjanjian Baru Intelinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian
Baru (PBIK) II, Jakarta: LAI, 2004.
Tim
Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Tim
Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Tim
Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka,
1991.
Tim
Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Tong,
Stephen. Peta & Teladan Allah, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia,
1995.
Tulluan,
Ola. Introduksi Perjanjian Baru, Malang: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil
Indonesia,
1999.
Wahono,
S. Wismoaday. Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Wenham,
J.W. Bahasa Yunani Koine, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1977.
KONTRIBUTOR JURNAL
VOICE OF THE COVENANT
Vol. 1. No. 1,
Oktober 2017
Fenieli Harefa, M.Pd.K, adalah Puket I (Bid. Akademik) STT
Covenant Indonesia. Memperoleh gelar Sarjana Teologi dari STT SETIA, Jakarta
pada tahun 2013. Gelar M. Pd.K diperoleh dari tempat yang sama pada tahun 2015.
Suami dari Yuliani Mendrofa, M.Pd, dan ayah dari Alfred Harefa dan Calvin Harefa. Saat ini berdomisili
di Tanjung Priuk, Jakarta Utara bersama keluarga.
[1] W. N. Mcelrath-Billy Mathias, Ensiklopedia Alkitab Praktis, (Bandung:
Lembaga Literatur Baptis), hlm. 124
[2] R Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 81
[3] Walter M. Post, Tafsiran Injil Markus, (Bandung:
Kalam Hidup, 1974), hlm. 29
[4] F. F. Bruce-Dr. Harun
Hadiwijono, Tafsiran Alkitab Masa Kini,
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), hlm. 87
[5] Ibid: hlm. 87
[6] Dianne Bergant & Robert J.
Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru,
(Yogyakarta: Kanisinus, 2002), hlm. 51, 85 dan 126
[7] Jakob Van Bruggen, Markus Injil Menurut Petrus,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 110.
[8] J.D Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II (Jakarta: YKBK, 1999), 335.
[9] J Orr, The Sabbath Scripturally and Practically Considered, 1886.
[10] N. H Snaith, The Jwish New Year Festival, 1947.
[11] J Murray, Principles of Conduct (1957), 30-35.
[12] W Rordorff, Sunday, 1968.
[13]F. N Lee, The Covenantal Sabbath, 1972.
[14] R. T Beckwith dan W Stott, This is the Day, 1978.
[15] S Bacchiocchi, From Sabbath to Sunday: A Historical
Investigation of the Rise of Sunday Observance in Early Christianity, 1977.
[16] J.D Douglas, Ibid., 336.
[17] Ibid., 337.
[18] M. Nazir, Metode penelitian, (Jakarta: Gahlia, 1945), hlm. 111
[19] Sutan Rajasa, Kamus Istilah Populer, (Surabaya: Karya
Utama, 2002), hlm. 32
[20] Ibid: hlm. 110
[21] Ibid: hlm. 228
[22] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009), hlm. 91
[23] Barclay M. Newman and Philip C.
Stine, Pedoman penerjemahan
Alkitab Injil Matius/A Translator’s Handbook On The Gospel Of Matthew,
(Jakarata: LAI dalam kerjasama dengan Yayasan Kurnia Bakti Budaya Indonesia,
1998), hlm. 336
[24] Ibid: hlm. 336
[25] Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, (Jakarta: Kanisius,
2000), hlm. 136
[26] Jakob Van Bruggen, Markus: Menurut Injil Petrus, (Jakarta:
Litindo/BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 112
[27] Ibid: hlm. 111
[28]Tiga puluh sembilan macam
pekerjaan yang terlarang dapat di baca dalam misyna pada pasal”sabat”. J. J. de Heer, Tafsiran Injil Matius, (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), hlm. 226
[29] Barcly M. Newman and Philip C.
Stine, Op. Cit., hlm. 338
[30] Jakob Van Bruggen, Op. Cit.,
hlm. 113
[31] Ibid: hlm. 114
[32] J. J. de Heer, Op. Cit., hlm.
226
[33] Barclay M. Newman and Philip C.
Stine, Op. Cit., hlm. 339
[34] Ibid: hlm. 339
[35] Ibid: hlm. 340
[36] Ibid: hlm. 341
[37] J.J. de Heer, Op. Cit., hlm. 226
[38]Barclay M. Newman and Philip C.
stine, Op. Cit., hlm. 342
[39] Ibid: hlm. 342
[40] Ibid: hlm. 343
[41] J. J. de Heer, Op. Cit., hlm.
227
[42] Ibid: hlm. 227
[43] Barclay M. Newman and Philip C.
Stine, Op. Cit., hlm. 343
[44] J.J. de Heer, Op. Cit., hlm. 126
[45] Jakob Van Bruggen, Op. Cit.,
hlm. 113
[46] Louis Berkhof, Teologi Sistemaika Vol. 3 Doktrin Kristus,
(Surabaya: Momentum, 2009), 25.
[47]
Barclay M. Newman and Philip C. Stine, Op. Cit., hlm. 222
[48] David Pan Purnomo, Kristus-Nama di atas Segala Nama,
(Jakarta: Ekklesia Training Center, 2000), hlm. 15.
[49] Louis Berkhof, Op. Cit., hlm. 26.
[50] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (Jakarta: BPK,
1993), hlm. 315.
[51] Louis Berkhof, Op. Cit., hlm. 26.
[52] Louis Berkhof, Teologi Sitematika Vol. 1 Doktrin Allah,
(Surabaya: Momentum, 2010), hlm. 75.
[53] Ibid.
[54] Louis Berkhof, Op. Cit., hlm. 26
[55] Ibid.
[56] Louis Berkhof, Vol. 1, Op. Cit.,
hlm. 70
[57] Charles F. Pfefeer & Everett
F. Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe
Vol. 1 Kejadian- Ester, (Malang: Gandum Mas, 2007), hlm. 30
[58] Donald C. Stamp, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan
(Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 129
[59] Andrew E. Hill & John H.
Walton, Survei Perjanjian Lama,
(Malang: Gandum Mas, 2008), hlm. 201
[60] Ibid: hlm. 234
Komentar
Posting Komentar