MAKNA HARI SABAT: STUDI EKSEGESIS MATIUS 12:1-8


MAKNA HARI SABAT:
STUDI EKSEGESIS MATIUS 12:1-8
Fenieli Harefa, M.Pd.K

ABSTRAK
Artikel ini ingin mengkaji tentang makna hari Sabat secara alkitabiah melaui studi eksegesis Inijil Matius 12:1-8. Ahli Taurat dan orang Farisi menuduh Yesus telah melanggar hari Sabat. Pada zaman Tuhan Yesus, ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menjadikan hari Sabat menjadi suatu beban dengan menentukan 39 macam pekerjaan yang diharamkan pada hari Sabat. Kajian yang dilakukan bersifat teologis melalui studi pustaka. Dan temuan dalam penelitian ini melalui studi eksegesis Matius 12:1-8 adalah: pertama, inti dari peraturan adalah mengutamakan hidup; kedua, mengkritisi orang-orang Farisi yang terlalu fokus terhadap Ritual agama/Sabat dengan mengesampingkan kebutuhan lahiriah/jasmani (hidup manusia); ketiga, Ia membandingkan diriNya dengan Daud dan imam-imam yang adalah tidak diangggap bersalah atas tindakan mereka, dan Yesus memproklamasikan diri bahwa Dia adalah pemilik hari tersebut. Melalui artikel ini penulis menyimpulkan bahwa Yesuslah yang berkuasa atas hari Sabat karena Ia adalah Tuhan. Ia tidak meniadakan peraturan hari Sabat yang telah Allah tetapkan, akan tetapi Ia mengecam penyalahgunaan peraturan-peraturan yang dilakukan ahli Taurat dan orang-orang Farisi.
             
Kata-kata Kunci: Hari Sabat, Studi Eksegesis, Anak Manusia, Tuhan atas hari Sabat.










PENDAHULUAN

Sabat merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan orang percaya. Perintah untuk menguduskan hari Sabat, dituliskan oleh jari Allah sendiri pada loh batu ketika Musa menghadap Allah di gunung Sinai. Allah menghendaki setiap umat-Nya untuk beristirahat dan menguduskan hari Sabat. Karena Allah telah menyelesaikan pekerjaan-Nya yaitu penciptaan alam semesta dengan segala isinya selama enam hari, maka pada hari ketujuh Ia berhenti dan menguduskan-Nya. Sabat adalah hari ketujuh, yakni hari Sabtu; pada zaman Alkitab, hari beristirahat dan berbakti (Kel. 28:8-12; Mrk. 2:27-28).[1]
            Hari Sabat harus dirayakan dengan menyucikan dan mempersembahkan hari ini untuk Allah, oleh sebab itu pada hari Sabat umat pilihan Allah berhenti dari pekerjaan sehari-hari. Akan tetapi, jika manusia berhenti dari pekerjaan dan tidak melakukan apapun, maka hal yang sama dengan hewan peliharaan seperti: babi, lembu, dan keledai juga memelihara hari Sabat seperti umat pilihan. R. Soedarmo mengatakan, istirahat bukan berarti berhenti dan berdiam saja. Tuhan berhenti pada hari ketujuh bukan untuk tidak bekerja selanjutnya, Yesus mengatakan ”Bapa-Ku bekerja sampai sekarang” Yohanes 5:17.[2] Akan tetapi pada zaman Yesus, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menjadikan hari sabat suatu beban. Orang-orang Farisi menentukan 39 macam pekerjaan yang diharamkan (dilarang) pada hari sabat, misalnya: menabur, membajak, menulis dan menghapus tulisan, memotong kayu, dan lain-lain.[3] Sehingga peraturan-peraturan hari Sabat adalah tempat dimana kuk hukum Taurat, sebagaimana ditafsirkan orang-orang Farisi menjadi sangat berat.[4]
Melalui peraturan-peraturan hari sabat tersebut, maka para ahli Taurat dan orang Farisi memandang bahwa tindakan para murid ketika memetik bulir gandum pada hari Sabat sebagai tindakan melanggar hukum Taurat, sebagaimana dijelaskan oleh: F. F. Bruce & Harun Hadiwijono.[5] Dan juga Dianne Bergant & Robert J. Karris berpendapat hal yang sama.[6] Dalam perikop murid-murid memetik bulir gandum pada hari Sabat menimbulkan kesan seakan-akan terdapat dua pandangan mengenai hari Sabat yang bertabrakan: pandangan kaum Farisi yang berdasarkan hukum dan pandangan Yesus yang bebas.[7]

BAHASAN

Kajian Teori
Kata Sabat berasal dari kata Ibrani (שבת shabbāṯ, Shabbat, "istirahat" atau "berhenti bekerja", 'berhenti', 'melepaskan'). Alkitab menetapkan bahwa satu dari 7 hari harus diindahkan sebagai hari suci bagi Allah. Dari alasan yang dikemukakan untuk mengindahkan sabat dalam Kesepuluh Hukum, kita ketahui bahwa istirahat sabat itu ditetapkan sendiri oleh Allah saat penciptaan (Kel 20:8-11).[8] Karena itu sabat adalah tata tertib penciptaan. Sabat adalah hari istirahat setiap Sabtu dalam Yudaisme. Hari Sabat dirayakan dari saat sebelum matahari terbenam pada hari Jumat hingga tibanya malam pada hari Sabtu. Perayaan ini dilakukan oleh banyak orang Yahudi dengan berbagai tingkat keterlibatan dalam Yudaisme. Dari kata Sabat ini diperoleh istilah Sabbath dalam bahasa Inggris, Sabt dalam bahasa Arab (السبت), dan Sabtu dalam bahasa Indonesia. Dari kata ini pula muncul konsep "sabatikal", yaitu berhenti bekerja pada Sabat. Orang Yahudi menganggap peringatan Sabat, sebagai hari ke-7 setiap minggu, tidak terputus sejak ditetapkan saat Allah menciptakan alam semesta, di mana manusia diciptakan pada hari ke-6.[9]
Dalam peristiwa penciptaan kata sabat tidak muncul. Tapi akar kata dari mana perkataan itu dijabarkan ada (Kej 2:2).[10] Kata shabbat dalam bahasa Ibrani berasal dari kata kerja shabat, dalam bahasa yang sama, yang secara harafiah berarti "berhenti", atau shev yang berarti "duduk". Meskipun shabbat hampir secara universal diterjemahkan "istirahat" atau suatu "masa istirahat", terjemahan yang lebih harafiah adalah "berhenti", dengan implikasi "berhenti dari melakukan pekerjaan". Jadi Sabat adalah hari untuk orang berhenti bekerja, dengan implikasinya beristirahat. Kata Ibrani untuk melakukan "mogok", misalnya, berasal dari akar kata Ibrani yang sama dengan shabbat, dan mengandung implikasi yang sama, yaitu bahwa para buruh yang mogok secara aktif berhenti melakukan pekerjaan, dan bukan secara pasif "beristirahat". Kebetulan, hal ini menjelaskan pertanyaan teologis yang sering diajukan tentang mengapa Allah perlu "beristirahat" pada hari yang ketujuh dalam penciptaan alam semesta, seperti yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian pasal 1. Bila dipahami bahwa Allah "berhenti" bekerja dan bukannya "beristirahat" dari kerjanya, penggunaan ini lebih konsisten dengan pandangan Alkitab tentang Allah yang Mahakuasa yang tidak membutuhkan "istirahat". Namun, sering diikuti terjemahan yang jauh lebih umum yaitu sabat sebagai "istirahat".[11] Ada kerancuan bahasa yang lazim di mana banyak orang percaya bahwa Sabat itu berarti "hari ketujuh." Meskipun akar kata untuk "tujuh", atau "sheva", mirip ucapannya dengan Shabbat, tulisannya berbeda. Perayaan Sabat disebutkan beberapa kali di dalam Torah, terutama sebagai perintah keempat dari Sepuluh Perintah Allah (Keluaran 20:8-11 dan Ulangan 5:12-15). Contoh-contoh lainnya adalah Keluaran 31:12-17, Keluaran 35:2-3, Imamat 19:3, Imamat 19:30, Imamat 23:3 dan Bilangan 28:9-10 (Korban). Sabat diacu secara langsung oleh para nabi Yesaya (Yesaya 56:4,6) dan Yehezkiel (Yehezkiel 20, Yehezkiel 22, Yehezkiel 23) dan Nehemia (Nehemia 9:14, selain sejumlah Referensi lainnya dalam Alkitab Ibrani.[12]

 

Perayaan Sabat

Sabat adalah hari perayaan dan salah satu hari beribadah. Pada hari Sabat orang Yahudi menyajikan makanan yang berlimpah sebanyak tiga kali setelah kebaktian di sinagoga selesai: pada Jumat malam, Sabtu tengah hari, dan Sabtu sore sebelum Sabat berakhir. Lebih banyak orang Yahudi yang berusaha menghadiri kebaktian di sinagoga pada hari Sabat, dan mungkin tidak hadir pada hari-hari lainnya.
Selain hari raya Yom Kippur (karena hari itu bukanlah hari yang menyedihkan, melainkan hari raya yang besar), hari-hari puasa umum ditunda atau dimajukan sehari bila jatuhnya bersamaan pada hari Sabat, dan orang-orang berduka yang menjalani "Shivah", dari luarnya berusaha tampil biasa saja selama hari Sabat. Mereka bahkan dilarang memperlihatkan tanda-tanda kedukaan di depan umum.[13] Saat ini beberapa gereja di seluruh dunia yang juga merayakan dan memelihara Hari Sabat pada Hari Sabtu yaitu Gereja Yesus Sejati (True Jesus Church) dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (Seventh Day Adventist Church). Waktu yang digunakan untuk berbakti dan merayakan Hari Sabat sama dengan waktu perayaan Sabat orang Yahudi yaitu dimulai dari Jumat Malam (tepat di saat matahari terbenam) dan berakhir pada Sabtu Malam (tepat di saat matahari terbenam).

Kewajiban

Menurut sastra rabinik, orang Yahudi diperintahkan Allah untuk merayakan (menghindari kegiatan yang dilarang) dan mengingat (dengan kata-kata, pikiran, dan tindakan) Sabat. Kedua tindakan ini dilambangkan oleh penyalaan dua batang lilin pada akhir Jumat sore (tidak kurang dari 18 menit sebelum matahari tenggelam pada hari Jumat) oleh kaum perempuan Yahudi, biasanya ibu/istri.
Meskipun kebanyakan hukum Sabat bersifat melarang, hukum keempat dari Sepuluh Perintah Tuhan dalam Kitab Keluaran diambil oleh Talmud untuk mengacu kepada aspek-aspek yang positif dari Sabat. Hal itu antara lain adalah: Pengucapan kiddush pada secawan anggur kosher sebelum makan untuk menghormati hari itu di malam hari dan pagi hari, sambil menekankan kekudusan harinya (lihat Daftar Doa-doa Ibrani); Tiga kali makan dengan penuh sukacita yang minimal meliputi roti (potongan roti challah yang tradisional) dan daging (menurut kebanyakan pandangan tradisional). Mempelajari Torah (lihat bawah); Mengucapkan Havdalah pada berakhirnya Sabat pada Sabtu malam (diucapkan pada secawan anggur, dengan rempah-rempah yang harum, dan lilin).[14]

 

Larangan

Hukum Yahudi melarang penganutnya melakukan segala bentuk melachah ("kerja", plural "melachot") pada hari Sabat. Melachah tidak sama artinya dengan definisi "kerja" dalam bahasa lain. Artinya pun tidak sama dengan definisi istilahnya sebagaimana dipergunakan dalam fisika. Kata ini mengacu kepada "39 kategori aktivitas" yang dilarang oleh Talmud dilakukan oleh orang Yahudi pada hari Sabat; ke-39 kategori ini disimpulkan secara eksegetis (berdasarkan perbandingan terhadap ayat-ayat Alkitab yang sepadan) dari jenis-jenis pekerjaan yang perlu untuk membangun Kemah Suci. Banyak ahli agama yang telah menunjukkan bahwa semua kegiatan ini mempunyai kesamaan—semua aktivitas ini bersifat "kreatif", atau kegiatan yang mengandung kontrol atau kuasa terhadap lingkungan seseorang.[15]
Berdasarkan Traktat Sabat Mishnah 7:2, ke-39 kegiatan yang dilarang itu adalah: Menabur; Membajak; Menuai; Mengikat berkas gandum; Membuang sampah; Menampi; Memilih; Mengasah; Memilah; Membuat adonan; Membuat roti; Menggunting wol; Mencuci wol; Memukuli wol; Mewarnai wol; Memintal; Menenun; Membuat dua simpul; Menenun dua lembar benang; Memisahkan dua lembar benang; Mengikat; Melepaskan ikatan; Menjahit robekan; Merobek; Menjerat; Memotong hewan; Terbang; Mewarnai kulit binatang; Menyapu untuk mencari barang yang hilang; Menandai kulit binatang; Memotong kulit hingga menjadi bentuk tertentu; Menulis dua atau lebih huruf; Menghapus dua atau lebih huruf; Membangun; Meruntuhkan bangunan; Mematikan api; Menyalakan api; Memberikan sentuhan terakhir pada sebuah benda; Memindahkan benda dari tempat pribadi ke tempat umum, atau sejauh 4 hasta dalam batas tempat umum. Banyak orang Yahudi Ortodoks menghindari larangan "membawa" dengan membuat kunci mereka bagian dari ikat pinggang mereka.

 

Kegiatan yang diizinkan

Kegiatan-kegiatan berikut ini dianjurkan dilakukan pada hari Sabat: Merayakan Sabat bersama-sama dengan keluarga dekat; Pergi ke sinagoga untuk berdoa; Mengunjungi keluarga dan teman (dalam jarak yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki); Menerima tamu (hachnasat orchim, "keramah-tamahan"); Menyanyikan zemirot nyanyian-nyanyian khusus untuk makan Sabat (biasanya dinyanyikan pada saat atau setelah makan). Membaca, mempelajari, dan mendiskusikan Torah dan tafsirannya, Mishnah dan Talmud, mempelajari Halakha dan Midrash. Berhubungan seksual dengan suami atau istri, khususnya pada Jumat malam. (Shulchan Aruch menggambarkan hal ini sebagai "mitzvah ganda," karena menggabungkan prokreasi dengan sukacita Sabat, dan keduanya dianggap diperintahkan oleh Torah.) Menurut para rabi "Reform", segala sesuatu yang meningkatkan sukacita Sabat sebagai hari yang khusus dan rohani sangat dianjurkan.[16] Ajaran Yahudi tentang Shabbat diadopsi dan digunakan oleh agama-agama lain. Bapa-bapa gereja mula-mula, termasuk Yustinus Martir, memindahkan peringatan Sabat dari hari Sabtu (hari ketujuh) ke Minggu (hari pertama) dalam proses pemisahan historis dan teologis dari Yudaisme. Konsep beristirahat di hari Minggu ini digunakan hampir di seluruh dunia dan telah menjadi hari raya Kristen sekaligus hari libur sekuler.[17]

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif. Penulisan artikel ini didasarkan pada penelitian kepustakaan yaitu menelusuri literatur dan penelaahnya.[18] Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dan eksegesis. Analisis adalah penguraian atau kupasan.[19] Deskriptif adalah bersifat menggambarkan atau menguraikan sesuatu hal apa adanya.[20] Eksegesis adalah penjelasan atau penafsiran teks.[21] Menurut W. R.F. Browning, eksegesis adalah menguraiakan hal-hal yang tidak jelas dan mencari hubungan antara suatu kata, ayat atau bagian, dengan kata, ayat atau bagiannya dalam rangka menentukan maknanya yang pasti.[22]
Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Penulis juga melakukan penelitian pustaka untuk memperoleh sumber teori yang relevan dengan pokok permasalahan yang penulis teliti. Penulis melakukan penelitian pustaka untuk memperoleh kajian teori yang relevan dengan permasalahan yang penulis teliti. Dalam melakukan penelitian pustaka penulis mencari buku-buku dan membacanya serta mempelajari bahan literatur yang berhubungan dengan judul artikel ini.

Hasil Penelitian
Analisa Sintesis Matius 12:1
Ayat ini diawali dengan kata “pada waktu itu” merupakan penanda waktu yang dipakai juga dalam Mat.11:25. Dalam hal ini sepertinya Matius tidak bermaksud menunjukkan suatu waktu yang ketat, dan ada terjemahan yang menyusunnya dalam bentuk yang wajar menjadi ”pada suatu hari sabat”[23]. Terjemahan seperti ini banyak diikuti oleh penerjemah, biasanya mereka menyusunnya menjadi “suatu waktu pada hari Sabat”. Bagi Matius tidak terlalu penting untuk menunjukkan persis kapan peristiwa tersebut terjadi, namun yang terpenting bagi Matius adalah peristiwa tersebut terjadi pada suatu hari istirahat (hari besar) orang-orang Yahudi yakni hari Sabat. Dimana Yesus berjalan akan tetapi berdasarkan penelitian penulis ini lebih baik diterjemahkan menjadi “Yesus dan murid-muridNya berjalan” untuk menjelaskan bahwa bukan hanya Yesus yang berjalan, tetapi dia bersama-sama dengan murid-muridNya. Jalan yang mereka lewati Barclay M. Newman and Philip C. Stine menjelaskan bahwa mereka tidak berjalan menembus ladang, akan tetapi mereka berjalan melalui jalan setapak[24]. Stefan Leks juga mengatakan “diladang-ladang di Palestina, sering di jumpai jalan pintas”[25]. Dan Meyer Benoit dikutip oleh Van Bruggen mengatakan tidaklah tepat anggapan bahwa seakan-akan kebetulan saja pada hari sabat mereka kepergok melakukan kesalahan umum, yakni “perbuatan terlarang berupa membuat jalan di tengah-tengah ladang gandum”[26].
Ungkapan “berjalan di ladang gandum”, J. D. M. Darrett memberi penjelasan: dia menduga,Yesus sedang dalam perjalan menuju kota lain. Apabila orang berpergian pada hari sabat,orang terpaksa mengambil jalan putar menyesuri desa-desa itu. Sekiranya dalam perjalanan itu orang masuk kedalam sebuah kota atau desa, mereka tidak boleh lagi meninggalkan daerah wajib istirahat di sekitar kota atau desa itu sebelum hari sabat berakhir. Jadi,orang terpaksa mengitari “daerah sabat” disekitar kota atau desa itu, dan baru dapat    memasuki daerah  bila sudah sampai di tempat tujuan. Tempat itulah yang dijadikan “tempat berteduh” atau “tempat istirahat”, yang tidak ditinggalkan lagi sampai hari sabat berlalu[27].

            Berdasarkan penjelasan tersebut di atas itulah yang menjadi alasan  Yesus dan murid-muridnya tidak melalui rute yang umum yakni dengan melintasi kota dan desa-desa, tetapi mereka memilih melalui jalan setapak di padang dan ladang supaya mereka tidak terjebak di suatu kota atau desa.
            Dalam perjalanan ini sangat wajar jika murid-murid Yesus “merasa lapar” karena mereka bertambah jauh berjalan untuk mencapai tempat tujuan sebab mereka mengelilingi kota atau desa-desa, mereka tidak melalui jalan yang biasa dilewati orang pada umumnya. Oleh karena lapar murid-murid memetik bulir gandum dan memakannya. Waktu murid-murid Yesus, memetik dan memakannya, dalam hal ini orang Farisi tidak mempersalahkan mereka karena memetik bulir gandum yang adalah kepunyaan orang lain. Atau dengan kata lain orang-orang Farisi tidak menuduh mereka mencuri. Karena telah tertulis dalam Ul.23:25 “Apabila engkau melalui ladang sesamamu yang belum dituai, engkau boleh memetik bulir-bulirnya dengan tanganmu, tetapi sabit tidak boleh kau-ayunkan kepada gandum sesamamu itu. Dan juga sebenarnya tidak  ada hukum yang melarang orang makan pada hari Sabat, jika nyawa seseorang terancam oleh karena kelaparan maka dia diizinkan untuk untuk menuai dan makan pada hari sabat. Akan tetapi, yang dipermasalahkan orang Farisi ialah karena murid-murid memetik bulir-bulir gandum pada hari Sabat hal ini dianggap orang Farisi sebagai “menuai pada hari Sabat”, yang adalah terlarang. Sebab ahli-ahli Taurat telah menetapkan tiga puluh Sembilan macam pekerjaaan yang terlarang pada hari sabat[28].
            Dalam hal ini, orang Farisi tidak menegur muri-murid Yesus, tetapi mereka langsung menegur Yesus sebagaimana yang tertera dalam ayat dua. Sebab, menurut orang-orang Farisi Dialah yang bertanggung jawab atas perbutan murid-muridNya karena membiarkan mereka.

Ayat 2
Ayat ini diawali dengan kalimat: melihat itu, orang-orang farisi berkata kepadaNya dalam hal ini tidak ada penjelasan tentang apa yang dilihat oleh otang Farisi. Pernyataan ini tidak dapat dipisahkan dari ayat sebelumnya. Maksudnya melihat itu adalah tidak terlepas dari perbuatan atau tindakan murid-murid pada ayat satu ketika mereka memetik bulir gandum dan memakannya. Pada ayat satu penulis telah menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan oleh orang-orang Farisi adalah bukan karena murid-murid mengambil yang bukan milik mereka. Akan tetapi, yang dipermasalahkan oleh orang Farisi adalah mereka menganggap bahwa murid-murid melakukan penuaian pada hari Sabat. Sehingga menurut orang-orang Farisi murid-murid telah melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh ahli-ahli Taurat.
            Oleh karena itu orang-orang Farisi berkata kepadaNya, lihatlah. Ungkapan lihatlah pertama kali digunakan dalam Matius 2:9, dalam ayat ini fungsinya untuk menarik perhatian terhadap apa yang sedang dilakukan oleh murid-murid Yesus[29]. Dan dilanjutkan dengan perkataan murid-muridMu melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari sabat. Orang Farisi tidak menegur murid-murid Yesus, tetapi mereka langsung berkata kepada Yesus. Karena menurut orang-orang Farisi Dialah yang bertangggung jawab atas perbuatan murid-muridNya tersebut.
            Menanggapi tuduhan ini, Yesus tidak memberikan alasan secara langsung mengapa murid-muridNya melakukan hal itu. Dan Yesus juga tidak menuduh orang Farisi mengikat orang pada “ajaran manusia”. Yesus  mengakui bahwa murid-muridNya telah melakukan apa yang tidak pantas dilakukan pada hari Sabat. Pernyataan ini tersirat pada pengakuanNya, dalam contoh yang diberikanNya, yaitu perbuatan Daud, yang terlarang. Hukum Tuhan menentukan bahwa roti sajian hanya boleh dimakan oleh para imam semata. Tuduhan orang Farisi diakui tepat dari sudut formal. Untuk menanggapi tuduhan orang Farisi Yesus memberi jawaban dengan peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau. Dan jawaban yang diberikan Yesus dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yakni: ayat 3-4 tindakan Daud dan pengikutnya, ayat 5 tugas imam dalam mempersembahkan korban, ayat 6-8 pernyataan Yesus menunjuk pada diriNya. Namun demikian menurut Jakob Van Bruggen menyatakan:
Ketentuan umum tidak  berlaku pada keadaan luar biasa. Apakah artinya luar biasa? Yesus terlebih dahulu memberi contoh dari kehidupan Daud. Kitab Suci sendiri menunjukkan bahwa pada kesempatan tertentu hukum Tuhan tidak diterapkan pada Daud. Sama seperti murid-muridNya, Daud dan para pengiringnya merasa lapar. Peristiwa tentang Daud juga berlangsung pada hari sabat, sebab pada hari itu roti sajian diganti, sehingga imam besar dapat mengatakan ia punya roti sajian (Im.24:8; I Sam.21:4,6)[30]

            Dalam peristiwa tersebut Daud tidak berpergian dengan urusan sendiri, tetapi ia sedang menjalankan tugas negara (Daud menyelamatkan diri). Dalam I Sam. 21, para imam melakukan perbuatan yang  istimewa karena Daud mempunyai tugas istimewa pula. Demikian juga Yesus menyamakan diriNya dengan Daud dan menjelaskan bahwa pada hari ini Dia dalam perjalanan dinas bagi sang Raja (Allah)[31]. J. J. de Heer mengatakan juga: bahwa secara tersembunyi Yesus mempertalikan diriNya dengan Daud. Yesus adalah anak Daud, Sang Mesias. Jadi, yang diperbolehkan kepada Daud, diperbolehkan juga kapada anak Daud itu[32].

Ayat 3-4
Ayat ini diawali dengan kalimat tetapi jawab Yesus kepada mereka dan BIS menerjemahkan “jawab Yesus” ini merupakan jawaban Yesus atas pernyataan orang Farisi pada ayat sebelumnya. Dalam bahasa Yunani dipakai kata ganti orang kedua tunggal o` (Ia, Dia) untuk Yesus. Untuk menanggapi tuduhan orang Farisi tersebut, Yesus tidak langsung memberi alasan mengapa murid-muridNya melakukan hal tersebut, tetapi Ia kembali bertanya kepada mereka tidakkah kamu baca. Menurut Barclay M. Newman and Philip C. Stine mengatakan: pertanyaaan ini merupakan pertanyaan retoris yang menuntut jawaban “ya”[33]. Yang dimaksud oleh Yesus tidakkah kamu baca adalah mengenai peristiwa tentang Daud dan mereka yang mengikutinya lapar. Yang dimaksud dengan mereka yang mengikutinya adalah menuju pada pengikut-pengikut Daud. BIS menerjemahkan dengan “orang-orangnya”.
            Kalimat tanya pada ayat keempat bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah merupakan lanjutan dari ayat tiga tentang tindakan Daud. Perlu diketahui bahwa Rumah Allah di sini adalah bukan Bait Suci yang di bangun oleh Salomo di Yerusalem. Tetapi Rumah Allah di sini yang dimaksud adalah “tempat kehadiran Allah” atau “kemah (tenda) dimana Allah hadir”[34]. Pertanyaan selanjutnya bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan. Kalimat pertanyaan yang menyatakan “Bagaimana ia masuk… dan makan” mempunyai arti harafiah yang menunjuk bahwa hanya Daud saja yang masuk dan makan. Hal ini sesuai dengan bagian paralel dengan kisah ini dalam  Mrk.2:26 maupun Luk.6:4.
            Namun beberapa naskah Yunani yang lain mengatakan mereka makan seperti yang diterjemahkan TB, juga teks PB Yunani UBS mengikuti bentuk jamak (mereka). Dalam hal ini Barclay M. Newman and Philip C. Stine menjelaskan bahwa terjemahan yang tepat adalah “dia (Daud) masuk ke… dan dia bersama orang-orangnya makan…”[35]. Kalimat ini menunjukkan dengan jelas bahwa Daud harus keluar dahulu sebelum dia dan orang-orangnya makan roti, urutan peristiwanya demikian “ Daud masuk ke dalam Rumah Allah  dan memperoleh roti yang dipersembahkan kepada Allah, kemudian dia membawanya keluar dan dia serta orang-orangnya memakan roti tersebut.
            Jadi, mereka tidak makan sama-sama di Bait Allah, sebab pengikut-pengikut Daud tidak bersama-sama dengan dia saat itu. Roti yang dimaksud di sini berbentuk dua belas potongan roti yang diletakkan diatas meja persembahan di Rumah Allah setiap hari sabat[36]. Roti ini dipersembahkan kepada Allah, lalu pada hari Sabat berikutnya roti ini menjadi hak para imam, yang harus memakannya di tempat kudus. Peraturan mengenai hal ini bisa ditemukan di dalam Imamat 24:5-9.
            Roti sajian tersebut tidak diperbolehkan dimakan oleh siapapun termasuk Daud dan juga pengikut-pengikutnya dan yang dapat memakan roti ini adalah hanya imam-imam saja. Akan tetapi, dalam keadaan darurat (kelaparan) Daud dan imam berani menyimpang dari suatu kebiasaan yang suci menurut hukum Yahudi[37].

Ayat 5
Kemudian dalam ayat ini, Yesus kembali mengajukan pertanyaan retoris kepada orang-orang Farisi tentang imam-imam yang bekerja dalam Bait Allah pada hari sabat. Pertanyaan retoris yang diajukan Yesus adalah atau tidakkah kamu baca. Kata atau di sini berfungsi untuk menggabungkan jawaban Yesus terdahulu dengan pertanyaan yang sekarang diajukanNya.Yang menunjuk pada pertanyaan tidakkah kamu baca dalam Kitab Taurat. Kitab Turat yang dimaksud di sini adalah bagian pertama dari Kitab Suci orang Yahudi[38]. Dimana pada hari sabat, imam-imam melanggar hukum Taurat di dalam Bait Allah.
            Melanggar hukum sabat diterjemahkan oleh BIS menjadi “melangggar peraturan”. Kata kerja yang digunakan dalam bahasa aslinya hanya digunakan sekali lagi di seluruh PB, yaitu di dalam Kis. 24:6 (LAI: mencemarkan, BIS: menajiskan)[39]. Pelanggaran imam-imam yang dimaksud di sini adalah tentang pekerjaan yang mereka pada hari Sabat. Dimana pada hari Sabat mereka (imam) mempersembahkan korban harian dan mengganti roti yang dipersembahkan kepada Allah dengan roti yang baru (Bac. Bil.28:9-10), namun mereka tidak bersalah.
            Jadi, yang mau ditunjukkan Yesus kepada orang-orang Farisi di sini adalah bahwa pada saat para imam mengerjakan tugas-tugas mereka di Bait Allah pada hari Sabat, sebenarnya mereka melanggar peraturan Sabat. Akan tetapi Kitab Taurat menunjukkan bahwa mereka tidak dianggap bersalah karenanya.

Ayat 6
Ayat ini diawali dengan Aku berkata kepadamu, susunan kalimat yang serupa terdapat di dalam Mat.5:20. Kalimat ini berfungsi untuk menggabungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya dan untuk menekankan kata-kata yang mengikutinnya. Pernyataan di sini ada yang melebihi Bait Allah, penekanannya terletak pada “Bait Allah” [40].
            J. J. de Heer mengatakan bahwa: “Memang Bait Allah lebih penting dari Sabat”[41]. Akan tetapi, dalam pernyataan yang dilontarkan oleh Yesus kepada orang Farisi ada lagi yang melebihi Bait Allah, agak sulit untuk menjelaskan apa  yang melebihi Bait Allah tersebut. Karena tidak ada terjemahan yang mencoba untuk menterjemahkannya. Namun, dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa: yang melebihi bait Allah adalah Yesus itu sendiri sesuai dengan pernyataan pada Ayat delapan “Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat”, Anak manusia di sini menunjuk pada pada diri Yesus. Prof. E. Schwrizer di kutip oleh J.J.de Heer berpendapat bahwa: “sesuatu yang melebihi Bait Allah tersebut adalah kerajaan Allah yang mulai terwujud dengan kedatangan Yesus Kristus[42]. Dan juga Barclay M. Newman and Philip C. Stine menegaskan bahwa: yang dimaksud melebihi Bait Allah adalah Yesus sendiri, yang kekuasaannya melebihi Bait Allah maupan hari Sabat[43].

Ayat 7
Dalam ayat ini Yesus menyebutkan suatu hal lagi yang melebihi Sabat, yakni belas kasihan. TB mengawali terjemahannya dalam ayat ini dengan jika kamu mengerti arti Firman ini, sedangkan BIS menerjemahkannnya dengan Di dalam Alkitab tertulis. Dalam hal ini BIS menunjukkan bahwa kata-kata yang diucapkan Yesus ini dikutip dari Alkitab yakni Hosea 6:6. Suatu bagian telah dikutp Matius sebelumnya yakni dalam Mat.9:13. Dalam ayat ini J.J. de Heer mengatakan bahwa “belas kasihan dan bukan persembahan” adalah suatu gaya bahasa Ibrani yang berarti belas kasihan lebih dari persembahan.[44]
            Dalam hal ini Yesus menyatakan kembali kepada orang Farisi bahwa hukum kasih adalah hukum yang tertinggi. Dalam Mrk.2:27 Yesus mengatakan bahwa “Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk  hari Sabat”. Jakob Van Bruggen mengatakan bahwa “Yesus tidak berbicara mengenai sifat hari Sabat, tetapi mengenai pengadaannya[45].
            Ungkapan mengerti maksud Firman ini bukan hanya sekedar menyadari tentang suatu Firman yang dimaksud. Menyatakan bahwa orang-orang Farisi tahu kalau Firman yang diucapkan Yesus ini kutipan dari Kitab Suci, tetapi mereka tidak mengerti maksudnya. Jika orang-orang Farisi mengerti arti Firman itu yakni tentang kasih, tentu mereka tidak akan mempermasahkan tindakan murid-murid Yesus tersebut. Sebab kasih menutupi banyak dosa I Pet. 4:8. Jadi, karena mereka tidak mengerti hal itu makanya mereka menyatakan tindakan murid-murid tersebut suatu kesalahan.

Ayat 8
Ayat delapan ini, diawali dengan kata ‘karena’ merupakan penghubung yang mengindikasikan bahwa ini adalah suatu peralihan logis dari jawaban Yesus sebelumnya dengan pernyataan yang sekarang. Dimana pada ayat sebelumnya Yesus telah menanggapi tuduhan orang-orang Farisi dengan menuju pada peristiwa yang di masa lampau mengenai peristiwa mengenai Daud dan pengikutnya lapar dan para imam yang melakukan tugas mereka dalam Bait Suci. Kemudian dialihkan dengan ayat delapan dimana Yesus tidak lagi berbicara mengenai peristiwa yang terjadi masa lampau yakni tentang Daud dan para imam yang mekukan tugas mereka. Akan tetapi, memberikan suatu pernyataan bahwa ‘Anak Manusia adalah pemilik hari Sabat’.
            Yesus menerangkan bahwa Anak Manusia adalah pemilik hari Sabat dalam ayat delapan karena orang-orang Farisi menuduh bahwa tindakan para murid memetik bulir gandum melanggar peraturan Sabat. Dalam hal ini orang-orang Farisi meminta pertanggungjawaban kepada Yesus dengan menarik perhatian-Nya terhadap yang sedang dilakukan murid-murid-Nya dengan memakai kata seru lihatlah! Karena menurut orang-orang Farisi Dialah yang bertanggung jawab atas perbuatan murid-murid-Nya tersebut.
            Jadi, berdasarkan tuduhan orang-orang Farisi tersebut Yesus menyatakan bahwa tidak ada hak orang-orang Farisi untuk menyatakan bahwa tindakan para murid tersebut adalah salah. Karena mereka tidak berkuasa atas hari Sabat. Adapun yang berkuasa atas hari Sabat, dan inilah yang Yesus nyatakan pada pernyataan-Nya.
            Kemudian Yesus melanjutkan pernyataan-Nya yaitu karena ‘Anak Manusia’, konsep Anak Manusia yang dipakai oleh Yesus dalam pernyataan-Nya berbicara tentang diri-Nya sendiri dengan menggunakan sebutan orang ketiga. Beberapa versi terjemahan (KJV, NAS, NIB, TB, BIS) kata yang dipakai untuk adalah Son of Man artinya Anak Manusia.
            Istilah Anak Manusia dalam Perjanjian Lama, nama ‘anak manusia’ dapat ditemukan dalam Mzm. 8:5; Dan. 7:13, dan sering kali muncul dalan nubuatan nabi Yehezkiel.[46] Istilah Anak Manusia yang dipakai dalam Perjanjian baru berasal dari kitab Daniel, dalam kitab ini hanya merupakan sebutan yang deskriptif, karena dalam bentuk nubuatan dan belum menjadi sebuah gelar. Namun, dalam Pejanjian Baru istilah ini merupakan suatu penunjukkan diri Yesus yang sangat umum.
            Hal yang menunjukkan bahwa Yesus berbicara tentang diriNya sendiri adalah kenyataan di salah satu Injil dipakai “Anak manusia” dalam bentuk orang ketiga, sedangkan Kitab Injil lainnya memakai bentuk orang pertama “Aku”[47]. Contohnya ialah pernyataan Yesus dalam Mat.16:13, “kata orang, siapakah Anak manusia itu”? Ayat-ayat paralel di dalam Mrk.8:27 dan Luk.9:18 memakai bentuk orang pertama “Aku”. Dalam Injil Mat.16 itu sendiri, dua ayat berikutnnya Matius menegaskan bahwa Yesuslah yang dimaksud dengan “Anak Manusia” dengan menambahkan pertanyaan “tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”.
            Dan beberapa penafsir lainnya menyatakan bahwa istilah ‘Anak Manusia’ yang dipakai oleh Yesus dalam pernyataan-Nya pada ayat ini berbicara tentang diri-Nya sendiri. David Pan Purnamo menyatakan “Gelar Anak Manusia muncul 82 kali dalam PB, dan hampir semua keluar dari mulut Tuhan Yesus untuk menyebut diri-Nya.[48] Dan Louis Berkhof menjelaskan bahwa: “Yesus sendiri memakai nama ‘Anak Manusia’ ini untuk menunjuk diri-Nya  lebih 40 kali dalam kesempatan-kesempatan yang berbeda, sedangkan orang lain tidak mempergunakannya.”[49] Dan juga Donald Guthrie mengatakan bahwa: “Semua sebutan-sebutan  tentang Anak Manusia dalam Injil Sinoptik semuanya menunjuk pada diri Yesus sendiri[50]. Satu-satunya pengecualian dalam Injil Yohanes 12:34, dan dimana-mana itu dipakai dalam kutipan kalimat Yesus. Dan dalam seluruh PB, hanya Stefanus dan Yohanes yang memakainya, Kis.7:56; Why. 14:14.
            Vos dalam bukunya The Self Disclosure Of Jesus dikutip oleh Louis Berkhof membagi ayat-ayat yang memakai nama ini dalam empat kelompok,[51] yakni: menunjukkan eskatologi kedatangan Anak Manusia, misalnya: dalam Mat.16:27,28; Mrk. 8:38; 13:26 dan ayat-ayat parelelnya. Berbicara secara spesifik tentang penderitaan Tuhan Yesus, kematian dan (kadang-kadang) kebangkitan-Nya, misalnya: Mat. 17:22; 20:18,19,28; 12:40 dan ayat-ayat paralelnya. Ayat-ayat dalam Injil Yohanes dinama sisi manusia surgawi yang istimewa serta pra-eksistensi Yesus sangat ditekankan, misalnya Yoh.1:51; 3:13,14;  6:27,53,63; 8: 28 dsb. Dan ayat-ayat lainnnya merefleksikan natur manusiawi, misalnya: Mrk. 2:27,28; Yoh. 5:27; 6:27,51,62.
Jadi, dari uraian tersebut di atas, sangat jelas bahwa istilah ‘Anak Manusia’ yang Yesus pakai dalam pernyataan-Nya tersebut menunujuk pada diri-Nya sendri. Dalam pernyataan Yesus Anak Manusia adalah pemilik pada ayat ini, kata “pemilik” merupakan penegasan pernyataan bahwa Anak Manusia adalah berkuasa. Beberapa terjemahan  versi bahasa Inggris (KJV, NAS, NIB, NIV, TB) kata yang pakai untuk ku,rioj adalah Lord artinya: pemilik, tuan, dan Tuhan. Sedangkan BIS menterjemahkannnya berkuasa. Walupun dalam hal ini ada perbedaan terjemahan penulis menyimpulkan arti dari kata  ku,rioj adalah pemilik atau Tuhan, karena Dia adalah pemilik maka, Ia berkuasa.
            Kata kurios dalam terjemahan septuaginta dipakai untuk menyebut nama Tuhan. Perjanjian Baru mengikuti terjemahan septuaginta ini, yang menggantikan Adonai dengan kata ini dan menyetarankanya dengan Kurios, yang diturunkan dari kata Kuros yang berarti kuasa.[52] Louis berkhof kemudian menjelaskan bahwa nama ini menunjuk Allah sebagai yang Mahakuasa, Tuhan, pemilik, penguasa yang memiliki kuasa resmi dan juga otoritas, dan juga kata ini dipakai untuk menunjuk Kristus.[53]
Louis Berkhof menyetarakan nama Kurios dengan: pertama, sebagai nama yang setara dengan Yehovah; kedua sebagai nama pengganti Adonai; dan yang ketiga, sebagai terjemahan dari gelar penghormatan yang dinaikkan manusia kepada Allah (terutama nama Adon), Yos. 3:11; Mzm. 95:7.[54] Dan dalam Perjanjian Baru dapat ditemukan tiga penerapan nama ini menuju pada diri Yesus yakni: sebagai sapaan yang hormat dan amat menghargai, Mat. 8:2; 20:33. Sebagai pernyataan kepemilikan dan otoritas, tanpa bermaksud menunjukan apa-apa tentang sifat Ilahi Kristus serta otoritas-Nya, Mat. 21:3; 24:42. Dengan pengertian otoritas tertinggi, menyatakan sifat yang sangat di muliakan, dan kenyatan secara praktis setara dengan nama Allah, Mrk. 12:36,37; Luk. 2:11; 3:4; Kis. 2:26; I Kor. 12:3; Flp. 2:11.[55] Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut di atas dalam pernyataan tersebut Yesus menegaskan bahwa Anak manusia mempunyai otoritas karena Dia adalah pemilik. Dan pula, “Anak Manusia dalam hal ini bukan hanya sekedar pemilik biasa karena nama Kurios dalam PB adalah pengganti nama Adonai dalam PL. Atau dengan kata lain nama Kurios dalam PB setara dengan nama Adonai dalam PL. Kata Adonai diturunkan dari dun (din), atau adan yang keduanya berarti menghakimi, memerintah dan dengan demikian menunjuk kepada Allah sebagai penguasa yang kuat, kepada siapa semua harus berhadapan, dan kepada-Nya manusia adalah hamba.[56] Pada zaman PL Adonai adalah nama yang biasa dipakai orang Israel untuk menyebut Allah. Jadi, Kurios dalam PB setara dengan nama Adonai dalam PL yang adalah dipakai untuk sebutan nama Allah, maka Kurios dalam hal ini untuk Yesus yang adalah Allah. Di dalam pernyataan tersebut menyatakan bahwa Anak Manusia adalah pemilik, hal yang dimaksud Anak Manusia sebagai pemiliknya adalah hari Sabat.
            Beberapa versi terjamahan (KJV, TB, BIS) kata dipakai untuk  sabba,tou adalah Sabbath day artinya hari Sabat. Sedangkan terjemahan (NAS, NIB,NIV) menterjemahkan kata ini Sabbath artinya: perhentian. Dari terjemahan tersebut tidak ada perbedaan yang menonjol, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama. Namun, terjemahan KJV, TB, BIS, dalam hal ini lebih spesifik.
            Setelah Sang Khalik mengungkapkan perkenaan-Nya atas segala sesusatu yang Ia ciptakan, termasuk manusia, puncak dari penciptaan, Dia menyatakan bahwa karnya-Nya sudah selesai. Maka, pada hari ketujuh Dia berhenti dan tidak melakukan penciptaan lagi akan tetapi, Ia menguduskan hari tersebut.
            Allah menetapkan suatu hari Sabat dengan tujuan untuk mengingatkan umat-Nya bahwa Dialah pencipta, sehingga dengan demikian umat-Nya memuji Dia sebagai ucapan syukur (bdg. Kel. 20:8-11). Hari ketujuh dipisahkan untuk dihaormati dan dikuduskan sepanjang tahun sebagai pengingat bahwa Allah telah menetapkan suatu masa istirahat, penyegaran dan perhentian menyeluruh dari semua kegiatan.[57] Menguduskan hari Sabat berarti memisahkan berbeda dengan hari yang lain dengan berhenti bekerja supaya dapat istirahat, melayani Allah, dan memusatkan perhatian pada hal-hal yang menyangkut keabadian, kehidupan rohani dan kehormatan Allah.[58] Hill & Walton menjelaskan bahwa,

Hari Sabat adalah suatu tanda kovenan antara Yahweh dan Israel yang menunjukkan hubungan khusus Israel dengan  Allah dan bersaksi bahwa kekudusan Israel berakar dari Allah yang kudus, bukan dalam hukum dan upacara (Kel. 31:12-17; dbg. Im. 26:2). Pada zaman Yesus, manfaat dan praktis dan kemanusiaan hari Sabat sudah dikaburkan bahkan hilang oleh legalisme Yudaisme (bdg. Mat. 12:1-4; Mrk. 7:1-13).[59]

            Menguduskan hari Sabat Hill & Walton menjelaskan tujuannya adalah menghormati Allah[60], Allah berhak menerima hormat dari Israel sebagai peringatan akan karya-Nya dalam penciptaan (Kel. 20:11) dan sebagai ucapan syukur karena Allah telah melapaskan mereka dari tanah Mesir (Ul. 5:15).
            Dari uraian tersebut di atas sangat jelas bahwa Anak Manusia dalam pernyataan Yesus tersebut menunjuk pada diri-Nya sendiri. Dan Anak Manusia tersebut berkuasa atas hari Sabat karena Dialah pemilik hari tersebut. Dan tujuan Allah menetapkan hari Sabat adalah agar umat-Nya mengingat bahwa Dialah pencipta, sehingga dengan demikian umat-Nya memuji Dia, karena bersyukur. Jadi, tidak ada peraturan yang dapat mengikat Dia untuk menyatakan bahwa Dia telah melanggar peraturan hari Sabat. Akan tetapi, sebaliknya Dialah yang berhak untuk menentukan peraturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada hari Sabat dengan kata lain Dialah yang mengendalikan hukum mengenai hari Sabat, karena Dilah pemilik hari tersebut.


Kesimpulan
Anak Manusia (Yesus) adalah Tuhan atas hari Sabat, karena Yesus adalah Tuhan Dialah yang berkuasa atas ciptaannya termasuk  dalam menentukan peraturan hari Sabat. Tuhan memberi peraturan untuk kebaikan uamatNya/ciptaanNya dan bukan untuk mencelakakannya. Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah. Dan Allah memiliki sifat-sifat dan salah satunya adalah kasih. Dan oleh karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka manusia harus mencerminkan sifat sang penciptanya Itu.
            Melalui studi eksegesis Matius 12:1-8 penulis menyimpulkan bahwa inti dari peraturan adalah mengutamakan hidup, orang-orang Farisi yang terlalu fokus terhadap ritual agama/sabat dengan mengesampingkan kebutuhan lahiriah/jasmani (hidup manusia); Yesus membandingkan diriNya dengan Daud dan imam-imam yang tidak diangggap bersalah atas tindakan mereka, dan Yesus memproklamasikan diri bahwa Dia adalah pemilik hari tersebut.
            Anak Manusia (Yesus) adalah Tuhan atas hari Sabat, karena Yesus adalah Tuhan Dialah yang berkuasa atas ciptaannya termasuk  dalam menentukan peraturan hari Sabat. Tuhan memberi peraturan untuk kebaikan uamatNya/ciptaanNya dan bukan untuk mencelakakannya. Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah. Dan Allah memiliki sifat-sifat dan salah satunya adalah kasih. Dan oleh karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka manusia harus mencerminkan sifat sang penciptanya Itu.  Melalui artikel ini penulis dapat menyimpulkan bahwa Yesuslah yang berkuasa atas hari Sabat karena Dia adalah Tuhan. Dan Dia juga tidak meniadakan peraturan hari Sabat yang telah Allah tetapkan, akan tetapi yang Ia kecam hanyalah penyalahgunaan orang-orang Farisi. Dengan demikian melalui karya ilmiah ini, semoga setiap umat Tuhan memahami maksud dan tujuan Allah menetapkan hari Sabat.

Saran
Banyak ajaran yang sumbang menyebar dan mengajarkan bahwa orang Kristen wajib beribadah pada hari Sabtu, dan menyerukan harus kembali ke Alkitab. Hal yang sangat penting untuk diketahui ialah bahwa Sabat orang Yahudi telah digenapkan Kristus di atas salib ketia Ia “menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentun hukum mendakwa dan mengancam kita” (Kolose 2:14, 16, 17). Orang Kristen jangan lagi dihukum mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat, sebab semuanya itu hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.


Secara historis, hari Minggu adalah hari di mana biasanya orang-orang Kristen berkumpul di Gereja, dan kebiasaan ini dapat ditelusuri kembali sampai abad pertama. Dalam 2 Koinryus 9:12, paulus menyebut persembahan ini sebagai “pelayanan”, pengumpulan ini pastilah berhubungan dengan ibadah Minggu dari Jemaat Kristen. Melalui karya ilmiah ini, semoga setiap umat Tuhan memahami maksud dan tujuan Allah menetapkan hari Sabat. Oleh sebab itu melalui artikel ini kiranya memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu teologi dogmatika berdasarkan Alkitab. Memberikan kontribusi bagi orang percaya pada umumnya dan hamba Tuhan pada khususnya.






DAFTAR PUSTAKA

Bacchiocchi, S. From Sabbath to Sunday: A Historical Investigation of the Rise of Sunday Observance in Early Christianity, 1977.
Barth, C. Thelogia Perjanjian lama 1,  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981.     
Bergant, Dianne & Karris, Robert J.  Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisinus, 2002.
Beckwith, R. T dan Stott, W. This is the Day, 1978.
Berkhof, Louis. Teologi Sitematika I,  Surabaya: Momentum, 2010.
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika III, Surabaya: Momentum, 2008.
Berkhof, Louis. Teologi Sitematikan IV, Surabaya: Momentum, 2009.
Browning, W. R. F. Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Bruce, F. F.  Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Jakarta: YKBK, 2008.
Bruggen, Jakob Van.  Markus Injil Menurut Petrus, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Chapman, Adina. Pengantar Perjanjian Baru, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004.
Douglas, J.D. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II, Jakarta: YKBK, 1999.
Drane, John.  Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Drawes, B. F. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru, Jakarta: BPK, 2008.
Duyverman, M. E. Pembimbing Kedalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Gara, Niko. Menafsir Alkitab secara Praktis  Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Gering, Howard M. Analisa Alkitab, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil “Imanuel”, 1994.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru I Allah, Manusia, Kristus., Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Heer, J. J. De. Tafsiaran Alkitab Injil Matius, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Hill, Andrew E. &  Walton, John H.  Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2008.
Hoekema, Anthony A.  Manusia Ciptaan Menurut gambar Allah, Surabaya: Momentum, 2008.
Lee, F. N. The Covenantal Sabbath, 1972.
Leks, Stefan. Tafsir Injil Markus, Jakarta: Kanisius, 2000.
Marxsen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru Pendekatan Terhadap Masalah-masalah Kritis,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Mcelrath, W dan  Mathias, Billy. Ensiklopedia Alkitab Praktis, Bandung: Lembaga Literatur
Baptis.
Mounce, William D.  Basics Of Biblical Greek Grammer, Michigan: Zondervan, 1999.
Murray, J. Principles of Conduct, 1957.
Nazir, M. Metode penelitian, Jakarta: Gahlia, 1945.
Newman,  Barclay M. and Stine, Philip C.  Pedoman Penerjemahan Alkitab Injil Matius/A
Translator’s Handbook On The Gospel Of Matthew, Jakarta: LAI dalam kerjasama
dengan Yayasan Kurnia Bakti Budaya Indonesia, 1998.
Nggadas, Deky H. Y.  Bahasa Yunani sebuah Pengantar 1, Jakarta: Kalangan Sendiri, 2008.
Nixon, R. E./Nasution, Harris P.  Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu Berdasarkan
Fakta-fakta Ilmiaah dan Alkitabiah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Orr, J. The Sabbath Scripturally and Practically Considered, 1886.
Stamp, Donald C. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum Mas, 2000.
Pfeiffer, Charles F. dan Everett F. Harrison, Everett F., Tafsiran Alkitab Wycliffe Volume 1 Kejadian-Ester, Malang: Gandum Mas, 2007.
Post,Walter M.  Tafsiran Injil Markus, Bandung: Kalam Hidup, 1974.
Purnomo, David Pan. Kristus-Nama di Atas Segala Nama, Jakarta: Ekklesia Training Center,
2000.
Rajasa, Sutan.  Kamus Istilah Populer, Surabaya: Karya Utama, 2002.
Rordorff, W. Sunday, 1968.
Sihombing, Bernike. Mari Belajar Bahasa Yunani, 2005.
Snaith, N. H. The Jwish New Year Festival, 1947.
Soedarmo, R. Kamaus Istilah Teologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Susanto, Hasan. Perjanjian Baru Intelinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK) I, Jakarta: LAI, 2004.
Susanto, Hasan. Perjanjian Baru Intelinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK) II, Jakarta: LAI, 2004.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Tong, Stephen. Peta & Teladan Allah, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995.
Tulluan, Ola. Introduksi Perjanjian Baru, Malang: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil
Indonesia, 1999.
Wahono, S. Wismoaday. Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Wenham, J.W. Bahasa Yunani Koine, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1977.


KONTRIBUTOR JURNAL
VOICE OF THE COVENANT
Vol. 1. No. 1, Oktober 2017

Fenieli Harefa, M.Pd.K, adalah Puket I (Bid. Akademik) STT Covenant Indonesia. Memperoleh gelar Sarjana Teologi dari STT SETIA, Jakarta pada tahun 2013. Gelar M. Pd.K diperoleh dari tempat yang sama pada tahun 2015. Suami dari Yuliani Mendrofa, M.Pd, dan ayah dari Alfred Harefa dan Calvin Harefa. Saat ini berdomisili di Tanjung Priuk, Jakarta Utara bersama keluarga.         







[1] W. N. Mcelrath-Billy Mathias, Ensiklopedia Alkitab Praktis, (Bandung: Lembaga Literatur Baptis), hlm. 124
[2] R Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 81
[3] Walter M. Post, Tafsiran Injil Markus, (Bandung: Kalam Hidup, 1974), hlm. 29
[4] F. F. Bruce-Dr. Harun Hadiwijono, Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), hlm. 87
[5] Ibid: hlm. 87
[6] Dianne Bergant & Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisinus, 2002), hlm. 51, 85 dan 126
[7] Jakob Van Bruggen, Markus Injil Menurut Petrus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 110.
[8] J.D Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II (Jakarta: YKBK, 1999), 335.
[9] J Orr, The Sabbath Scripturally and Practically Considered, 1886.
[10] N. H Snaith, The Jwish New Year Festival, 1947.
[11] J Murray, Principles of Conduct (1957), 30-35.
[12] W Rordorff, Sunday, 1968.
[13]F. N Lee, The Covenantal Sabbath, 1972.
[14] R. T Beckwith dan W Stott, This is the Day, 1978.
[15] S Bacchiocchi, From Sabbath to Sunday: A Historical Investigation of the Rise of Sunday Observance in Early Christianity, 1977.
[16] J.D Douglas, Ibid., 336.
[17] Ibid., 337.
[18] M. Nazir, Metode penelitian, (Jakarta: Gahlia, 1945), hlm. 111
[19] Sutan Rajasa, Kamus Istilah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), hlm. 32
[20] Ibid: hlm. 110
[21] Ibid: hlm. 228
[22] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 91
[23] Barclay M. Newman and Philip C. Stine, Pedoman penerjemahan Alkitab Injil Matius/A Translator’s Handbook On The Gospel Of Matthew, (Jakarata: LAI dalam kerjasama dengan Yayasan Kurnia Bakti Budaya Indonesia, 1998), hlm. 336
[24] Ibid: hlm. 336
[25] Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, (Jakarta: Kanisius, 2000), hlm. 136
[26] Jakob Van Bruggen, Markus: Menurut Injil Petrus, (Jakarta: Litindo/BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 112
[27] Ibid: hlm. 111
[28]Tiga puluh sembilan macam pekerjaan yang terlarang dapat di baca dalam misyna pada pasal”sabat”.  J. J. de Heer, Tafsiran Injil Matius, (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), hlm. 226
[29] Barcly M. Newman and Philip C. Stine, Op. Cit., hlm. 338
[30] Jakob Van Bruggen, Op. Cit., hlm. 113
[31] Ibid: hlm. 114
[32] J. J. de Heer, Op. Cit., hlm. 226
[33] Barclay M. Newman and Philip C. Stine, Op. Cit., hlm. 339
[34] Ibid: hlm. 339
[35] Ibid: hlm. 340
[36] Ibid: hlm. 341
[37] J.J. de Heer, Op. Cit., hlm. 226
[38]Barclay M. Newman and Philip C. stine, Op. Cit., hlm. 342
[39] Ibid: hlm. 342
[40] Ibid: hlm. 343
[41] J. J. de Heer, Op. Cit., hlm. 227
[42] Ibid: hlm. 227
[43] Barclay M. Newman and Philip C. Stine, Op. Cit., hlm. 343
[44] J.J. de Heer, Op. Cit., hlm. 126
[45] Jakob Van Bruggen, Op. Cit., hlm. 113
[46] Louis Berkhof, Teologi Sistemaika Vol. 3 Doktrin Kristus, (Surabaya: Momentum, 2009),  25.
[47]  Barclay M. Newman and Philip C. Stine, Op. Cit., hlm. 222
[48] David Pan Purnomo, Kristus-Nama di atas Segala Nama, (Jakarta: Ekklesia Training Center, 2000), hlm. 15.
[49] Louis Berkhof, Op. Cit., hlm. 26.
[50] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I (Jakarta: BPK, 1993), hlm. 315.
[51] Louis Berkhof, Op. Cit., hlm. 26.
[52] Louis Berkhof, Teologi Sitematika Vol. 1 Doktrin Allah, (Surabaya: Momentum, 2010), hlm. 75.
[53] Ibid.
[54] Louis Berkhof, Op. Cit., hlm. 26
[55] Ibid.
[56] Louis Berkhof, Vol. 1, Op. Cit., hlm. 70
[57] Charles F. Pfefeer & Everett F. Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe Vol. 1 Kejadian- Ester, (Malang: Gandum Mas, 2007), hlm. 30
[58] Donald C. Stamp, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Malang: Gandum Mas, 2002), hlm. 129
[59] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 2008), hlm. 201
[60] Ibid: hlm. 234

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STUDI ALKITABIAH MENGENAI KESUPRANATURALAN YESUS KRISTUS BERDASARKAN MATIUS 1:18-25

PERAN KOMPETENSI GURU PAK DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA/I DI SD KWITANG 2 PSKD JAKARTA PUSAT

LATAR BELAKANG STT HAGIASMOS MISSION JAKARTA